Jepara, suaragardanasional.com | Setiap 21 April, bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini dengan aneka kegiatan: lomba berkebaya, karnaval budaya, hingga upacara seremonial. Namun di Jepara, tahun ini ada yang berbeda. Bukan sekadar mengenang lewat simbol dan hiasan, puluhan pegiat literasi memilih cara yang lebih bermakna: mereka "keroyokan" menulis gagasan RA Kartini dalam konteks kekinian.
Inisiatif ini merupakan sinyal positif bahwa Kartini tak boleh hanya dijadikan nama jalan, nama sekolah, atau patung di taman kota. Kartini harus dihidupkan sebagai pemikiran, sebagai gerakan, dan sebagai inspirasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Kartini Bukan Hanya Soal Emansipasi Perempuan
Banyak yang memahami Kartini hanya sebatas tokoh emansipasi perempuan. Padahal, bila kita membaca langsung surat-suratnya dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, kita akan menemukan gagasan-gagasan besar tentang:
• pendidikan untuk semua, terutama bagi kaum pribumi;
• kebebasan berpikir dan menyuarakan pendapat,
• serta keadilan sosial dan kemanusiaan.
Kartini tidak hanya resah pada nasib perempuan, tapi juga prihatin terhadap kemunduran bangsa karena rendahnya akses terhadap ilmu dan literasi. Dalam suratnya kepada Abendanon, ia menulis:
“Saya ingin sekali menjadikan rakyat saya berpikir, sadar akan nasibnya, dan berjuang mengubahnya dengan pengetahuan.”
Literasi: Jalan Panjang Menuju Kesadaran
Apa yang dilakukan oleh 56 pegiat literasi di Jepara menjadi bentuk nyata perjuangan itu. Mereka tidak hanya menulis untuk memperingati, tetapi juga menulis untuk mengedukasi, menyadarkan, dan menyuarakan ide-ide kemajuan.
Di tengah kondisi masyarakat yang masih bergelut dengan krisis ekonomi, kesenjangan pendidikan, dan rendahnya budaya baca, gerakan menulis bersama seperti ini menjadi langkah kecil yang berdampak besar. Ia bukan sekadar proyek menulis, tapi bagian dari pembangunan peradaban.
Kartini Perlu Dihidupkan, Bukan Diperingati
Kita semua bisa belajar dari semangat mereka. Hari Kartini tidak seharusnya hanya diisi dengan peragaan busana atau lomba nasi tumpeng. Sudah saatnya peringatan ini menjadi momentum untuk menghidupkan kembali obor pemikiran Kartini dalam bentuk:
• membaca bersama karya Kartini di sekolah dan komunitas,
• membuat ruang-ruang diskusi warga tentang hak-hak perempuan dan keadilan,
• serta menjadikan literasi sebagai bagian dari gerakan pembangunan desa dan kota.
Menjadi Kartini-Kartini Baru
Hari ini, menjadi “Kartini baru” bukan berarti harus berkebaya dan berpidato. Tapi bagaimana kita, laki-laki maupun perempuan, bisa mewarisi semangatnya: belajar tanpa lelah, menulis untuk perubahan, dan mencerdaskan masyarakat dari lingkungan paling dekat.
Kartini sudah menyalakan api. Tugas kita hari ini adalah menjaganya agar tidak padam. Dan jika semua orang di Jepara—dan Indonesia—ikut meniupkan semangat yang sama, maka gagasan-gagasan Kartini akan terus hidup dan menyala, bahkan melampaui zaman.
Penulis Djoko TP adalah pegiat literasi dan pengamat kebijakan publik di Jepara.:(Hani)