Jepara, suaragardanasional.com | Di tengah krisis iklim, deforestasi, dan degradasi moral akibat ketamakan manusia, warisan pemikiran RA Kartini justru semakin terasa relevan. Kartini, yang lahir di tengah tradisi Jawa yang kental, mampu melampaui batas zamannya. Ia mengajarkan bahwa perubahan sejati tak hanya datang dari suara lantang, tapi juga dari keteguhan hati, ketajaman pikir, dan kejernihan jiwa.
Kartini dan Ekologisitas Budaya
Budaya Jawa yang menjadi latar hidup Kartini mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam. Konsep _“hamemayu hayuning bawana”_ (memelihara keindahan dunia) bukanlah sekadar filsafat, melainkan laku hidup. Kartini menyerap ini dan menyadari bahwa keharmonisan antara manusia, sesama, dan alam adalah bagian dari kemanusiaan sejati
_“Saya ingin melihat bangsa ini terdidik, tidak hanya dalam pengetahuan, tetapi dalam budi pekerti yang memuliakan kehidupan”_ –RA Kartini, dalam surat kepada Abendanon.
Nilai ini sejalan dengan prinsip lingkungan hidup modern: keberlanjutan *_(sustainability)_* Saat hutan dibabat demi keuntungan sesaat, dan laut tercemar oleh plastik, pesan Kartini adalah pengingat bahwa modernitas harus tetap berpijak pada akar keselarasan hidup.
Studi Kasus: Perempuan Kendeng dan Warisan Kartini
Lihatlah para ibu dari Pegunungan Kendeng, yang menolak tambang semen demi menyelamatkan sumber air dan tanah leluhur mereka. Mereka bukan aktivis dari kota besar, tapi ibu-ibu desa yang mewarisi semangat Kartini: berani, berbudi, dan berpikir jauh ke depan.
Mereka tidak teriak tentang emansipasi, tapi mempraktikkannya dengan mengikat kaki mereka di depan istana negara. Bagi mereka, bumi bukan sekadar tanah, tapi kehidupan. Persis seperti Kartini yang menganggap pendidikan bukan sekadar sekolah, tetapi kesadaran diri sebagai manusia.
Filosofi Kartini: Membangun Pikiran Merdeka
Kartini menulis dengan semangat bertanya dan menggugat. Ia tidak menolak adat begitu saja, tapi mempertanyakan esensinya. Dalam konteks lingkungan, kita hari ini bisa belajar untuk bertanya:
- Apakah pembangunan yang merusak alam bisa disebut kemajuan?
- Apakah kemakmuran yang mengorbankan air bersih anak cucu bisa dibenarkan?
Pikiran merdeka yang diajarkan Kartini menjadi penting di tengah dominasi narasi pembangunan eksploitatif. Kita butuh generasi muda yang tidak hanya ‘ikut tren’, tetapi berani berpikir dan bersikap—melindungi hutan, mengelola sampah, dan menghidupkan kembali ekosistem lokal.
Spiritualitas Kartini: Sunyi yang Berdaya
Kartini bukan pembakar emosi. Ia pembangun peradaban dari dalam. Surat-suratnya adalah doa panjang yang jujur. Spiritualitasnya bukan dalam bentuk simbol, tapi dalam pertanyaan:
_Mengapa Tuhan membiarkan ketidakadilan?_
Spiritualitas ini sangat kontekstual untuk gerakan lingkungan saat ini. Aktivisme ekologis bukan hanya soal data dan poster, tapi juga tentang ketulusan untuk menyelamatkan kehidupan. Semangat ini hidup dalam para relawan sungai, penggerak urban farming, hingga anak-anak muda yang memilih hidup sederhana dan ramah bumi.
Kutipan Inspiratif:
_“Kartini adalah suara yang menggugat tanpa membenci, yang menuntut tanpa mengutuk. Ia bukan hanya milik masa lalu, tapi milik masa depan yang sedang kita perjuangkan.”_
— Butet Manurung, antropolog dan penggerak pendidikan masyarakat adat.
Kartini Hari Ini: Dari Emansipasi ke Ekologisasi
Peringatan Hari Kartini bukan lagi soal kebaya dan upacara simbolis. Ini saatnya menghidupkan kembali esensinya: perjuangan untuk nilai luhur. Di era krisis ekologis, Kartini bisa menjadi ikon perlawanan terhadap kerakusan yang merusak bumi.
Generasi baru dapat menjadi Kartini digital—yang menyuarakan pentingnya daur ulang, menggalang gerakan hijau, membangun kampanye edukatif, dan menciptakan solusi teknologi ramah lingkungan. Karena pelita itu masih menyala. Tugas kita adalah menjaganya tetap terang, lalu meneruskan cahayanya ke seluruh penjuru zaman.
Penutup:
RA Kartini adalah warisan hidup. Ia tidak hanya hidup dalam buku sejarah, tapi dalam setiap gerakan yang tulus, dalam setiap pemikiran yang jernih, dan dalam setiap napas perjuangan untuk kehidupan yang lebih adil—bagi manusia dan semesta.
(Hani K/ Djoko T. P)