Jepara, suaragardanasional.com | Kehidupan sehari hari para Nelayan tradisional dan Ketua KNTI mempunyai harapan karena telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah pesisir Jepara. Sejak dahulu, mereka menggantungkan hidupnya dari hasil laut dengan perahu kecil, alat tangkap sederhana, dan semangat kerja keras. Tanpa subsidi besar atau teknologi canggih, mereka menjaga kedaulatan pangan laut dan kelestarian budaya pesisir. Namun, di tengah perkembangan zaman dan kebijakan modern, muncul tantangan baru yang membebani kehidupan mereka—salah satunya adalah retribusi tiket masuk ke dermaga tempat mereka berlabuh setiap hari. Tulisan ini mengangkat suara dan harapan para nelayan tradisional agar mendapatkan perlakuan yang adil dan sesuai dengan nilai historis serta peran strategis mereka bagi Jepara.
Langkah konstruktif dilakukan oleh Djoko Tjahyo Purnomo, pengamat kebijakan publik, bersama Supriyadi, Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jepara, dengan menyelenggarakan diskusi terbuka yang bertujuan menampung keluhan nelayan tradisional terkait pemberlakuan tiket masuk di Pelabuhan Dermaga Pantai Kartini Jepara. Kegiatan berlangsung di Warung Makan Dapoer Oetami, tepat di depan Stadion Kamal Junaedi Jepara, Selasa pagi.
Hadir dalam diskusi tersebut empat perwakilan nelayan tradisional dari Kelurahan Bulu, Kecamatan Jepara: Edi Kiswanto, Wahono (Ketua KUB Mitra Mina Makmur), Bambang, dan Jubairi. Mereka menyampaikan langsung keresahan para nelayan yang saat ini dikenai tarif masuk sebesar Rp2.000 setiap kali memasuki area dermaga, sejak diterapkannya sistem e-ticketing oleh pihak swasta sekitar dua pekan terakhir.
“Dalam satu hari saya bisa masuk 3-4 kali ke dermaga. Bahkan ketika memperbaiki mesin atau jaring, bisa 5 sampai 10 kali. Tentu ini sangat memberatkan kami, karena biaya operasional bertambah,” keluh Edi Kiswanto, pemilik kapal tradisional Rizky Sanjaya. Ia juga menegaskan bahwa aktivitas nelayan berbeda dengan pengunjung wisata atau pemancing, sehingga mestinya tidak disamaratakan dalam hal retribusi.
Wahono, mewakili 19 anggota kelompok usahanya, menambahkan bahwa kebijakan ini menciptakan beban psikologis dan ekonomi bagi para nelayan, terutama di tengah tekanan musim paceklik dan tingginya biaya bahan bakar.
Menanggapi hal tersebut, Djoko Tjahyo Purnomo mendesak pemerintah daerah melalui Dinas Perhubungan Jepara, khususnya bidang Hubungan Laut (Hubla), agar segera mengambil langkah afirmatif. “Nelayan bukan pengunjung rekreasi. Mereka beraktivitas mencari nafkah di laut. Pemkab Jepara semestinya mengeluarkan kebijakan atau diskresi untuk membebaskan nelayan dari tiket masuk dermaga,” ujar Djoko.
Senada, Supriyadi dari KNTI meminta Bupati Jepara, Witiarso Utomo, menerbitkan Surat Edaran khusus yang menjamin pembebasan retribusi bagi nelayan yang beraktivitas di Dermaga Kartini. Ia juga mendorong adanya sistem pendataan nelayan aktif yang bisa dijadikan dasar verifikasi dan pembebasan tiket secara sistematis.
“Tidak hanya soal tiket, tapi juga ada keresahan lain seperti kebutuhan pangan saat musim paceklik dan kelangkaan BBM subsidi. Ini butuh perhatian lintas dinas,” kata Supriyadi.
Diskusi ini diakhiri dengan harapan agar Pemkab Jepara, melalui instansi terkait, segera menindaklanjuti keluhan nelayan dengan kebijakan yang lebih pro-rakyat dan berkeadilan. Nelayan tradisional adalah tulang punggung ekonomi maritim lokal, dan hak mereka atas akses dermaga tanpa hambatan patut diperjuangkan bersama.
Redaksi
_Tulisan ini merupakan karya jurnalistik berbasis fakta lapangan yang bertujuan membangun dialog konstruktif antara masyarakat nelayan dan pemerintah daerah_
(Hani K/ Djoko T. P)