Pentas Begal Ora Tegelan Kenang Sewindu Wafatnya Komikus Hasmi 'Gundala Putra Petir'

PERSIAPKAN PEMENTASAN BEGAL ORA TEGELAN : Mengenang sewindu wafatnya Hasmi, komikus Gundala Putra Petir, Grup Teater Kembang Adas Yogyakarta mementaskan sandiwara berbahasa Jawa bertajuk Begal Ora Tegelan (BOT) di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta Kamis (28/11/2024) malam. Sejumlah seniman dan pemain tengah berlatih memainkan sandiwara untuk mengenang "Sang Legenda". Foto : Dok. Kembang Adas


Yogyakarta, suaragardanasional.com - Komikus asal Yogyakarta Hasmi yang wafat 6 November 2016, telah meninggalkan jejak kreatif, di antaranya tampak pada komik "Gundala Putra Petir" yang fenomenal dan melegenda itu. Untuk mengenang Hasmi, Grup Teater Kembang Adas memainkan sandiwara berbahasa Jawa "Begal Ora Tegelan" di Societet Taman Budaya Yogyakarta, 28 November 2024. Saking populernya komik hero karya Hasmi, sutradara Joko Anwar pun tertarik membuat film "Gundala" pada tahun 2019.


Kini, untuk mengenang sewindu wafatnya Hasmi, Grup Teater "Kembang Adas" Yogyakarta menggelar pementasan sandiwara berbahasa Jawa, "Begal Ora Tegelan" (Begal yang tidak punya sifat tega), 28 November 2024 di Societet Taman Budaya Yogyakarta, pukul 19.00 WIB. Pementasan ini digarap sutradara Cicit Kaswami, yang sekaligus jadi penulis naskahnya. Para aktor yang mendukung pementasan ini Eko Winardi, Ami Simatupang, Margono W, Lisa Sulistyowati, Ningsih Maharani dan lainnya. Musik digarap Otok Bima Sidharta.


Hasmi dan komik  Gundala telah menjadi sejarah. Mereka selalu jadi narasi penting, ketika orang berbicara dunia komik Indonesia. Terutama tatkala superhero jadi dambaan masyarakat.  Gundala pun berada dalam deretan tokoh fiksi para pendekar silat: dari Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, sampai Djaka Sembung.


Namun Gundala tidak pandai silat. Ia memperoleh "kesaktiannya" dari eksplorasi dan eksperimentasi secara "ilmiah" yang dilakukan. Ia mampu menangkap petir. Dengan mendapat sokongan "kesaktian" dari Dewa Petir Gundala mampu menumpas kejahatan.


Hasmi cukup berhasil memadukan nilai-nilai modernitas dan budaya lokal. Ini tercermin pada sosok Gundala yang memiliki kejiwaan atau karakter kejawaan, meskipun secara fisik dan performance menyerupai tokoh superhero Barat: Flash Gordon! Komik Gundala Putra Petir bisa dikategorikan ke dalam fiksi ilmiah; inovasi langka dalam dunia fiksi modern komik Indonesia saat itu.


"Kalau Gundala jadi dibikin film, saya akan kaya raya. Minimal, saya bisa terima honor satu milyar," ujar Hasmi kala itu, dengan wajah berbinar,  dalam sebuah obrolan ringan.


Jauh sebelum Hasmi meninggal, sudah santer terdengar kabar: komik "Gundala Putra Petir"  ciptaan Hasmi, akan difilmkan. Bahkan kabar soal itu sudah tersebar di berbagai media. 


Nama Hanung Bramantyo disebut sebagai sutradara yang akan menggarap film  Gundala.  Hasmi pun sudah bolak-balik Yogya-Jakarta untuk membicarakan berbagai hal dan mempersiapkan segalanya berkaitan dengan produksi film itu. Namun, hingga Hasmi meninggal, rencana itu belum terwujud.


Impian untuk jadi orang kaya, sejatinya sudah dia raih ketika komik mengalami kejayaan. Honor yang diterima Hasmi cukup tinggi, untuk ukuran tahun 1970-an. Untuk satu buku komik, dia bisa menerima honor sekitar Rp 400. 000,- Kalikan saja jumlah itu dengan ratusan komik yang dia ciptakan. Namun, ternyata dia tidak memilih menjadi kaya, dengan kekayaannya itu., uangnya justru dipakai untuk berbagai hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Begitulah sikap Hasmi yang berjiwa solider.  


Hasmi identik dengan Gundala. Begitu pula sebaliknya. Keduanya sama-sama populer. Sama-sama jadi legenda. Betapa awetnya sang Gundala, tokoh fiktif itu, hidup dalam dunia imajinasi publik penggemarnya yang memang menyukai superhero.


Hero selalu dirindukan. Hero selalu dibutuhkan dan dirindukan dalam setiap zaman. Tak hanya pada saat masyarakat merasa tertindas, tapi juga saat masyarakat bebas. Sebab, pada dasarnya setiap manusia menyukai kebaikan dan kebenaran. 


Untuk itu, sang pahlawan harus tampil dan menang melawan kekuatan jahat. Ketika sang hero berhasil menumpas kejahatan, hati manusia tak berhenti bersorak. Manusia merasa terbebas, meskipun sang hero itu tak lebih dari tokoh fiktif dalam komik. Termasuk Gundala-nya Hasmi.


Perasaan mengharu-biru pahlawan sangat menonjol seiring munculnya banyak superhero dalam komik Indonesia pada tahun 970-an. Tak hanya  Gundala tapi juga Badra Mandrawata /Si Buta dari Goa Hantu (Ganes TH), Panji Tengkorak (Hans Jaladara), Parmin/ Joko Sembung (Djair Warni) dan superhero lainnya ciptaan Jan Mintaraga, Wid NS, Teguh Santosa. Watak "melodramatik" masyarakat Indonesia saat itu dapat dimaklumi karena baru saja lepas dari kehidupan Orde Lama yang cenderung kurang memberikan kebebasan bagi sebagian besar masyarakat.


Saat Orde Baru bangkit tahun 1966, sisa-sia perasaan "terkekang" itu masih mengendap. Maka, ketika dunia komik memroduksi tokoh-tokoh superhero, masyarakat langsung menyambut dengan antusias. Tokoh-tokoh superhero jadi wahana pembebasan.


Kehidupan superhero komik tetap berlanjut, saat Orde Baru berkuasa. Masyarakat masih membutuhkan "bulan madu" dengan para superhero, bahkan berlanjut hingga generasi penggemar itu menua atau banyak yang sudah meninggal. Namun kehidupan tokoh-tokoh superhero tak lantas berheni sampai di situ. 

Generasi yang lahir kemudian pun menerima "warisan" para superhero itu, karena adanya reproduksi nilai yang tidak pernah berhenti.  Begitu pula dalam kasus Gundala ciptaan Hasmi. Bahkan ketika Hasmi sudah off dari dunia komik, karena berbagai alasan, Gundala tetap hadir sebagai ikon kultural masyarakat menurut Indra Tranggono.


"Kembang Adas atau KA adalah sebuah paguyuban pelestari sastra bahasa dan budaya Jawa. Maka KA selalu mementaskan lakon apa saja selalu dengan bahasa Jawa, demikian juga ceritanya selalu aku ambil dari babad Jawa terutama babad yang sudah dilupakan," kata Eko Winardi budayawan Kota Gudeg.


Beberapa kali KA menampilkan Dolanan bocah, lagon bocah juga Panembrama. Lakon yang pernah KA pentaskan antara lain Kali Gedhe ( dramatic reading ),  Prahara Praja Watusungsang ( dramatuc reading ), Arisan ( dramatic reading )Jurkam Kabupaten, Pontius Pilatus ( dramatic reading), Randha Kinasih ( drama panggung ), Ruwat ( drama panggung), Sang Pambengkas (dramatic reading). 


KA dua kali pentas untuk bakti sosial artinya KA pentas sekaligus membagi sembako di Kalibawang dan di Kerug desa kecil dekat Candi Borobudur.


Sandiwara Begal Ora Tegelan berkisah tentang kehidupan masyarakat yang karena terdesak oleh kebutuhan hidup, memilih jalan untuk mencari nafkah secara kurang terpuji, seperti merampok, mencopet dan menjual diri. Setelah beberapa kali mendapat kesialan, mereka menjadi sadar bahwa martabat manusia semestinya dipelihara dan dijaga sedemikian rupa sehingga tidak  melakukan pekerjaan nista yang hanya mendatangkan ketidaktenteraman. (Hery S)

Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top