DITEROR MAFIA TANAH : Wahyune (46) warga Kampung Baris, Kelurahan Karangturi, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, didampingi kuasa hukumnya, memberikan keterangan perihal teror yang menimpa dirinya dan sejumlah tetangga. Warga dua kampung diminta paksa membeli tanah yang sudah mereka tempati berpuluh-puluh tahun oleh sejumlah orang yang mengakui wakil tuan tanah. Foto : Hery Setyadi
Semarang, suaragardanasional.com - Warga dari dua kampung di wilayah Keluragan Karangturi, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, yakni Kampung Baris dan Kampung Demes resah. Mereka diteror oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai wakil dari tuan tanah di wilayah tersebut. Wujud terornya adalah warga dipaksa membayar tanah yang mereka tempati, dengan mematok harga tak wajar. Warga setempat minta pemerintah turun tangan.
Wahyune (46) warga Kampung Baris didampingi Kuasa hukumnya dari LBH Mega Cakra Keadilan menceritakan permasalahan yang dialaminya, Jum'at (1/11/2024).
Perempuan bernama lengkao Wahyune Maliyani, adalah anak dari pemilik tanah dan bangunan atas nama Munsaidi Eko Rahardjo di Kampung Demes dan Kampung Baris, Kelurahan Karangturi, Kecamatan Semarang Timur, mengaku cemas dan tertekan akibat intimidasi yang diterimanya. Rumahnya kini tak lagi terasa aman, dan teleponnya terus berdering, semuanya karena ancaman dari seseorang yang mengaku sebagai ahli waris Tasripin, sosok tuan tanah yang menguasai lahan di masa era kolonial.
Sejak tahun 2022, orang-orang menuntut Wahyune menebus lahan yang diklaim sebagai warisan keluarga mereka. Tak hanya lewat telepon, tekanan juga datang dalam bentuk kunjungan langsung ke rumahnya, door to door. Orang itu menuntut Wahyune untuk membayar atau menebus tanah yang sudah dimilikinya bertahun-tahun, dengan rincian biaya tinggi yang harus segera dilunasi agar Wahyune dapat mempertahankan hak atas tanah dan bangunannya.
Masalah bermula ketika Wahyune mendapati kejanggalan pada sertifikat tanahnya di Kampung Demes. Sekitar tahun 2018, saat balik nama dari orang tuanya ke dirinya, luas tanahnya yang awalnya 71 meter persegi tiba-tiba berkurang menjadi 49 meter persegi, sehingga kehilangan 22 meter persegi. Wahyune sempat mempertanyakan hal ini kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang menyatakan bahwa lahan 22 meter persegi tersebut tercatat sebagai milik pihak lain. Tentu hal ini merupakan kejanggalan.
Kemudian, pada tahun 2022, seorang pria yang mengaku sebagai ahli waris tuan tanah menuntut pembayaran tanah tersebut senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebesar Rp 3.100.000 per meter. Selain itu, tanah Wahyune di Kampung Baris yang seluas 67 meter persegi juga diminta ditebus dengan harga Rp 3.375.000 per meter.
Ditemani kuasa hukumnya dari LBH Mega Cakra Keadilan, yakni Dr. Soesanto Gunawan, SH, MH, MM, dan Soeryono Roestam, SH, Wahyune menilai tuntutan tersebut sangat memberatkannya. Wahyune meminta pemerintah kota dan DPRD turun tangan menyelesaikan masalah yang sama yang membelit ratusan warga kedua kampung tersebut.
“Tahun 2022 mereka sudah memberikan rincian tebusan dan meminta saya membayar sesuai NJOP,” kata Wahyune saat ditemui di Jalan Peres, Semarang Utara, diampingi kuasa hukumnya.
Kini, di tahun 2024, ancaman tersebut makin intensif. Selain didatangi langsung, sosok tersebut juga melibatkan pihak lain yang mengaku sebagai ahli waris tanah, dengan rincian biaya tebusan yang terus diperbarui.
Wahyune berharap ada titik terang atas kasus ini. Dengan bantuan kuasa hukum, ia berharap haknya sebagai pemilik sah diakui dan teror yang mengancam kesejahteraan keluarganya segera berakhir.
Dr. Soesanto Gunawan, SH, MH, MM, menyatakan akan membawa persoalan pelik yang menimpa warga ini hingga ke Presiden Prabowo. Pasalnya, kasus ini sudah sedemikian rumit dan harus melibatkan pemerintah untuk menyelesaikannya. Soesanto menyebut bahwa kliennya merasa tertekan dan keberatan atas permintaan tebusan yang dinilai terlalu tinggi.
“Mereka merasa tanahnya itu milik tuan tanah, sedangkan gedungnya milik klien kami,” ujarnya.
Saat ini, pihak Wahyune masih berupaya melakukan negosiasi agar harga tebusan dapat turun di bawah NJOP dan belum merencanakan langkah hukum. Soeryono Roestam SH, kuasa hukum lainnya, menambahkan bahwa warga lain di wilayah tersebut juga pernah mengalami ancaman serupa. Namun belum ada keberanian dari warga untuk speak up ke publik.
“Kami sudah siap menghadapi reaksi dari pihak yang menekan warga itu. Kami berencana untuk bermediasi dan berharap pemerintah dapat ikut turun tangan. Beberapa warga sudah memiliki sertifikat namun masih diusik pihak yang mengaku ahli waris,” jelas Soeryono. (Ujik/Hery S)