Yogyakarta, suaragardanasional.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh tingkatan, Bawaslu dan gerak-gerik PJ Kepala Daerah patut diawasi oleh masyarakat. Instrumen-instrumen ini justru berpotensi melakukan kecurangan dalam Pemilu 2024. Adanya tekanan dari kekuasaan, membuat ketiga instrumen ini cari aman dan mengabaikan nilai-nilai demokrasi.
Masyarakat diminta menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan berlangsung pada Rabu, 14 Februari pekan ini. Pentingnya partisipasi publik yang maksimal itu untuk mencegah potensi oknum-oknum tertentu melakukan kecurangan dan kejahatan dengan memanipulasi hasil Pemilu.
Hal ini ditegaskan oleh Tim Hukum dan Advokasi serta peneliti dari LBH Arya Wirajasa Yogyakarta, Mustofa, Senin (12/2/2024). Dikatakan, masyarakat harus khawatir ada oknum yang bisa bermain dengan memanfaatkan rendahnya tingkat partisipasi publik dalam pemilu.
"Kita semua tahu ada gejala untuk mendorong pilpres satu putaran dengan segala cara dan cara paling gampang adalah dengan menambah tingkat partisipasi masyarakat atau mencurangi surat suara," papar Mustofa.
Mustofa menjelaskan, jika tingkat partisipasi masyarakat hanya 70 persen, angka itu bisa digelembungkan menjadi 80 persen misalnya demi kepentingan salah satu paslon. Apalagi jika merujuk tingkat partisipasi publik yang rata-rata masih di kisaran 70-an persen. Pada pemilu 2009 misalnya, partisipasi publik hanya 71 persen, kemudian pada 2014 naik menjadi 75 persen, dan di 2019 melonjak menjadi 81 persen.
"Ada lonjakan 10 persen partisipasi masyarakat sejak 2009 yang masyarakat berhak curiga bahwa itu bukan riil partisipasi masyarakat. Pola seperti itu sangat mungkin terjadi di 2024 untuk memenangkan salah satu paslon," tandas Mustofa.
Sebagaimana diketahui, tingkat partisipasi masyarakat pada pemilu di negara-negara demokrasi terbesar, seperti India pada 2019 hanya 67 persen. Angka tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah pemilu di India.
Sedangkan di negara demokrasi terbesar kedua di dunia, yakni Amerika Serikat pada pilpres 2020 tingkat partisipasi masyarakat sebesar 66,9 persen, tertinggi sejak 1990.
Pakar politik Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, mengatakan, kekhawatiran akan terjadinya kecurangan dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024 bisa saja terjadi mengingat telah banyak indikasi pelanggaran pemilu.
"Potensi kecurangan ini terutama untuk mengejar kemenangan salah satu paslon cukup besar," kata Airlangga.
Selain itu penentuan Pejabat Sementara Kepala Daerah oleh pemerintah sampai indikasi intervensi aparat, maupun politisasi bansos yang berlangsung merupakan indikator pendukung rawannya kecurangan.
"Sebelumnya bisa kita saksikan dari awal, mulai kasus di Mahkamah Konstitusi yang menunjukkan terjadinya indikasi conflict of interest, yang semakin dikuatkan dengan pelanggaran etik oleh Ketua KPU ketika menerima pencalonan dari Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden sesuai dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), maka peluang kecurangan bisa saja dilakukan dengan cara mobilisasi maupun pada permainan di tingkat partisipasi warga," ungkapnya. (Hery S)