Temanggung, suaragardanasional.com - Menjelang akhir bulan Februari adalah pekan-pekan penuh ritual nyadran. Di pepunden Singodirono, Dusun/Desa Tlogowungu, Kecamatan Kaloran, warga berkumpul Jum'at (23/2) pagi, ikhtiar warga adalah berkumpul berdo'a bersama untuk para leluhur mereka.
Pepunden tersebut adalah lokasi yang sama tempat dikebumikannya Ki Demang Meleng yakni salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro. Perang Jawa pada era tahun 1825-1830 menguras segala daya masyarakat desa saat itu. Leluhur warga Tlogowungu ini dimakamkan di areal bukit perkebunan rakyat, yang hingga kini diyakini masyarakat sebagai 'krajan' atau pusatnya desa.
Pepunden nan asri itu terletak di tengah kebun kopi. Dan gerumbulan pohon bambu. Warga Tlogowungu membanngun lantai beton teras komplek makam seluas dua kali lapangan bola voli. Tujuan warga adalah sebagai tempat mereka menyelenggarakan ritual budaya, termasuk nyadran.
Sugiyono (58) warga, juga salah satu tokoh Dusun Janggleng yang turut mengikuti ritual nyadran di Dusun Tlogowungu, memiliki leluhur yakni kedua orang tuanya yang dimakamkan di pepunden tersebut. "Kami warga Desa Tlogowungu barangkali masih satu saudara. Nyadran bagi kami adalah sarana mengikat kuat kerukunan warga. Saat nyadran, tiada perbedaan agama, keyakinan, kaya atau miskin, semua melebur menjadi satu saudara. Pada saat nyadran, anggota keluarga yang dari luar kota pun menyempatkan pulang desa, demi bisa bertemu warga lain pada saat nyadran," tutur Sugiyono yang datang ke pepunden bersama istri, anak, keponakan dan cucunya.
Suasana nyadran khidmat dan ramai dengan kegembiraan. Masing-masing keluarga datang ke acara nyadran dengan membawa aneka makanan dan ini yang inti, membawa ayam ingkung dan tumpeng nasi. Nilai-nilai sosial kental terasa pada ritual budaya ini, warga bertukar makanan, saling memberi. "Perbedaan pilihan warga saat pemilu lalu, tak perlu berlarut-larut. Warga harus kembali rukun. Sebab kami setiap hari bertemu berinteraksi," imbuh Sugiyono.
Di hadapan warga, Siswanto (62) tokoh warga Tlogowungu mengutarakan, setelah pesta demokrasi pada 14 Februari 2024 lalu usai digelar, inilah saatnya rakyat pesta dalam arti sesungguhnya. "Kalau pesta demokrasi adalah pestanya para elit. Kalau nyadran, adalah pestanya rakyat. Tradisi nyadran ini sudah ada sejak dulu dan akan tetap kami pelihara lestari. Budaya nyadran manjur untuk menyatukan warga yang majemuk," katanya.
Pada hari dan waktu yang sama, di Desa Geblog, Kecamatan Kaloran, warga meneruskan tradisi serupa di pepunden. Desa sebagai ikatan masyarakat butuh budaya yang mampu melepas kesenjangan sosial. Sugiyati (42) warga Geblog menjelaskan, ritual nyadran mampu menggerakkan niat warga, baik para orang tua, muda, anak-anak untuk duduk menyatu mendo'akan para leluhur. Adapun warga membawa aneka makanan ke pepunden, tak lain untuk pengingat bahwa apa yang menjadi rejeki hari ini adalah jerih payah dari para leluhur dan karunia Tuhan Sang Pencipta. "Ritual makan bersama itu sebuah tanda bersyukur dan tanda bhekti warga pada leluhurnya," ungkap perempuan aktifis budaya di Perkumpulan Kadipaten Bhumiphala ini. (Hery S)