Semarang, SGN.com - Sistem peradilan di Indonesia kembali diuji. Akhir - akhir ini, adanya ramai berita tentang vonis dari Mahkamah Agung (MA) untuk gembong besar narkoba di Indonesia dengan Barang Bukti ( BB)137 hanya 20 tahun penjara.
Menanggapi hal tersebut Ketua Yayasan DPD Gerakan Rakyat Anti Madat (GERAM) Jawa Tengah Havid Sungkar menyatakan kekecewaan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut.
"Terus terang kami benar-benar kecewa dan memprotes putusan tersebut. Yang mana gembong besar narkoba sabu yang sudah ditetapkan pengadilan dihukum mati tetapi oleh (MA) divonis 20 Tahun penjara," ungkapnya kepada SGN.com Rabu (2/8).
"Yang namanya gembong atau bandar besar narkoba harus dihukum seumur hidup atau maksimal hukuman mati!!," tegasnya.
Menurutnya, para gembong besar narkoba ini mencari keuntungan dengan menjual narkoba yang berdampak fatal bagi pemakainya.
"Dari penjualan narkoba itu, dampaknya dahsyat bagi pemakai ataupun penyalahgunaan.
Selain itu ada yang rusak keluarganya, ada yang karirnya hancur bahkan ada yang over dosis sampai meninggal dunia," tuturnya.
Dengan tegas menyebut bahwa tidak sepantasnya negara melindungi bandar narkoba dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM) karena perbuatan mereka sudah tidak melihat sisi kemanusiaan lagi dengan merusak generasi bangsa.
"Mengapa negara dalam hal ini MA masih memikirkan kaitannya dari sisi kemanusiaan sedangkan para gembong besar narkoba ini sudah tidak melihat hal-hal seperti itu," terang Havid.
Maka dari itu, yayasan aktivis anti narkoba (GERAM) meminta agar Pemerintah Indonesia benar-benar tegas dalam hal memutuskan perkara khususnya para gembong atau bandar besar narkoba di Indonesia.
"Mereka sudah membuat serta merusak generasi muda dengan mencari keuntungan finansial untuk dirinya.
Rata-rata para bandar narkoba tidak mengkomsumsi narkoba tapi dia tutup mata dengan mengambil keuntungan dengan menjual barang dagangannya tersebut tidak mikir resiko yang mengkonsumsi, ini kejahatan berat," kata Havid.
Havid menambahkan bahaya pemakai Narkoba adalah sulit untuk disembuhkan. Orang yang terkena narkoba mentalnya sudah rusak karena zatnya sudah masuk otak, untuk kembali normal sudah susah. Rehabilitasipun tidak menjamin sembuh karena sifatnya sementara, harus ada kemauan keras bagi pemakai narkoba untuk benar-benar mau jauhi narkoba.
"Makanya kami dari GERAM sangat kecewa dengan keputusan MA ini," tandasnya.
Berkaca kepada negara Cina, Havid menyampaikan walaupun negara komunis bahkan memproduksi sabu/narkoba, negara tersebut tegas apabila ada bandar narkoba divonis hukuman mati. Akan tetapi di Indonesia yang negara agamis berideologi Pancasila tapi mengapa dalam memvonis para gembong atau bandar besar narkoba masih melihat sisi kemanusiaan di sini. Padahal sudah banyak dari apa yang dihasilkan atau akibat dari yang dilakukan para gembong bandar narkoba itu sudah merugikan banyak para pemakai dan rata-rata generasi muda penerus bangsa rusak akibat narkoba.
"Jadi GERAM meminta kepada pemerintah untuk betul-betul komitmen guna memberantas serta mencegah narkoba di Indonesia. Mari kita bersama-sama harus benahi masalah keputusan dalam hukum ini. Kami dengan hormat meminta MA untuk bisa mengevaluasi ulang keputusan tersebut," ujarnya.
Keputusan MA yang dinilai tidak tegas tersebut dikhawatirkan tumbuhnya gembong/ bandar narkoba baru karena merasa hukumannya terlalu ringan.
"Hukuman 20 tahun itu nantinya juga akan dikurangi remisi dan pengurangan yang lain. Artinya tidak sepenuhnya 20 tahun seperti itu. Jadi dimungkinkan apabila bebas, mereka akan meneruskan profesinya sebagai gembong atau bandar narkoba," ucapnya.
Lebih lanjut Havid menegaskan bahwa hukuman seumur hidup atau maksimal hukuman mati merupakan peringatan atau warning bagi pengedar dan bandar narkoba agar tidak main-main terhadap narkoba di Indonesia.
"Maksimal hukuman mati itu diterapkan supaya mereka para gembong/ bandar mikir jangan berani sekali-kali menjual barang haram tersebut di negara Indonesia," Havid memungkasi.
Sebelumnya di beritakan mengejutkan Mahkamah Agung putuskan hukuman 20 tahun penjara kepada AK (35) gembong narkoba 137 kg Sabu yang sebelumnya 'divonis mati'.
Pada Desember 2021 kasus bermula saat W bersama AK dan F ditangkap polisi di Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur, polisi mendapati sabu 137 kg di mobilnya.
Akhirnya, ketiganya diproses hukum dan diadili dalam berkas terpisah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur (Jaktim).
Pada 13 September 2022, PN Jaktim yang diketuai Alex Adam Faisal menjatuhkan hukuman mati kepada AK. Hukuman mati tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 17 November 2022.
(AK) tidak terima dan mengajukan permohonan kasasi. Dan berikut ini kata Mahkamah Agung (MA).
"Tolak kasasi terdakwa dengan perbaikan pidana menjadi pidana penjara selama 20 tahun, denda Rp.1 miliar subsider 3 bulan penjara," demikian bunyi putusan yang dikutip dari website MA, Jumat (28/7/2023).
Perlu diketahui, sebelumnya (MA) juga menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada Jufriadi Abdullah dalam kasus 103 kg sabu, yang dihukum mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Biereun.
Adapun Jufriadi Abdullah dihukum mati oleh PN Bireuen lalu dipotong menjadi penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh, oleh majelis hakim MA hukuman Jufriadi Abdullah kembali disunat menjadi 20 Tahun penjara.
"Kabulkan Peninjauan Kembali Pemohon. Batal judex facti, adili kembali terbukti Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Narkotika, pidana penjara 20 (dua puluh) Tahun denda Rp.1.000.000.000 (satu miliar) subsider 3 (tiga) bulan penjara," demikian bunyi putusan kasasi MA atas Jufriadi," tandasnya. (Hery S)