KADISDIKPORA BANTAH ADA SEKOLAH JUALAN SERAGAM : Disdikpora yang sudah mengeluarkan surat edaran (SE) tentang larangan pembelian seragam lewat sekolah, koperasi dan komite sekolah serta pengembalian biaya kepada peserta didik, tidak diikuti implikasinya oleh sekolah negeri. Harga seragam yang diwajibkan sekolah negeri saat PPDB 2023 dimark up harganya ratusan persen dari harga wajar. Foto : Hery Setyadi
Kepala Disdikpora Kabupaten Temanggung, Agus Sujarwo mengaku dirinya tidak menemukan praktek pembelian seragam melalui sekolah selama PPDB. Pihak Disdikpora, tambah Agus, sudah melakukan klarifikasi secara sampling ke sembilan sekolah negeri.
Dari sekolah yang kami datangi, tidak ada yang menjusl seragam selama PPDB," aku Agus saat diklarifikasi pihak Lingkar Studi Pemberdayaan Perdesaan (LSPP) soal implementasi SE Kadisdikpora di kantor Disdikpora, Kamis (3/8).
Agus berdalih pihaknya ingin sama-sama melakukan perbaikan. "Disdik sudah minta keterangan ke sejumlah sekolah dan kami dapat jawaban bahwa hal itu (pembelian seragam sekolah) tidak diwajibkan.
Disdik sudah minta ke sekolah mengembalikan uang seragam, apabila ada temuan pembelian seragam yang dikeluhkan, masyarakat dipersilakan lapor ke dirinya. Silakan diskusi, Disdik menerima masukan-masukan. Saya jam 13.30 harus ke dewan untuk meneruskan rapat," katanya memotong perbincangan yang dihadiri Ketua LSPP dan anggota, serta media. Sekdisdikpora Andri dan dua kabid , Pamuji dan Wisnu turut dalam pertemuan klarifikasi.
Andrianto menyatakan, pihak memiliki ada bukti pembayaran di banyak sekolah di sembilan kecamatan.
Aturan Permendikbud jelas seksli tidak diperboleh melakukan praktek pembelian seragam oleh sekolah, koperasi dan dalih apapun selama PPDB.
"Kami menemukan ada mark up harga seragam yang luar biasa besarnya hingga ratusan persen. Kami melihat ini cukup rawan, ada modus Korupsi Kolusi dan Nepotisme di pendidikan kabupaten ini. Penggelembungan harga ini masuk pasal 3 UU Tipikor.
Nampaknya ini nyaris terjadi di semua sekolah dan masif. Karena ini sudah cukup unsur dan barang bukti. Kami akan meningkatkan statusnya, kami akan melanjutkan kasus ini ke penegakkan hukum," tandas Andrianto.
Masyarakat sebenarnya sudah menyoroti kasus praktek memperkaya diri sendiri ini sejak tahun 2020. Sejak Kadisdik yang lalu-lalu, sampai hari ini praktek KKN ini masih dipelihara.
Ada modus rapi yang selama ini dipraktekan oleh sekolah negeri, yakni slip atau barang bukti pembelian biaya seragam sengaja dibuat dengan bentuk seperti tanda bukti parkir kendaraan.
Tapi di sekolah clear, ada keterangan dan bukti bahwa sekolah melakukan pencatatan ukuran baju, pemesanan yang diorganisir oleh sekolah. Kemudian ortu peserta didik diarahkan membayar seragam ke koperasi atau pihak ketiga yang ditunjuk.
Tentunya, koperasi dan pihak ketiga ini memiliki suplier atau penyedia kain seragam yang berkonspirasi. Ini bukti yang paling nyata terjadi di sekolah negeri selama PPDB.
Masyarakat kecil tentu terbebani dengan adanya pembelian seragam yang sangat mahal. Masyarakat kecil terdampak kesulitan sehingga terhimpit hutang ke lintah darat. Dampak lainnya, terjadi disharmoni di internal keluarga. Ini disebut kekejaman yang dilakukan oleh pendidik.
Kadisdik, menjawab terkait ada apa yang dilaporkan LSPP, itu merupakan hak masyarakat untuk menyampaikan laporan."Kami ingin berdiskusi untuk masalah ini, namun apabila hal ini akan diteruskan ke APH ya monggo," ujar Agus Sujarwo.
Agus meradang, kalau memang kasus seragam akan dibawa ke APH, silakan saja. Jadi tidak perlu kita diskusi, imbuhnya.
Andrianto mencecar pertanyaan bahwa dari kalangan ortu peserta didik melaporkan bahwa tidak ada sekolah yang melaksanakan SE Kadisdik tentang pengembslian biaya seragam yang luar biasa mahal dan mencekik masyarakat. Tidak ada impact atau feedback dari sekolah-srkolah untuk menindaklanjuti SE tersebut.
Agus kembali beralasan, pihaknya sudah terjun ke sekolah dan minta sekolah untuk mengembalikan uang seragam. "Saya tidak bisa nyegat jika urusan ini dibawa ke APH. Kami hanya menunggu hasil pelaporan LSPP ke APH," ujar mantan Camat Kranggan ini.
Andri, memberikan pandangan bahwa pola pembelian seragam ini tidak tertangkap frekuensinya oleh Disdikpora. Tidak kemudian, Disdikpora beralasan banyak ortu yang tidak datang ke rapat komite tidak mengetahui adanya Permendikbud yang melarang sekolah berjualan seragam. Dari lap oran ortu dan slip bukti, dan regulasi aturan yang ada, ini sudah cukup bukti.
"Saya tidak metenteng dalam hal ini. Regulasi kita sudah jelas beli seragam di sekolah tidak boleh.Soal harga seragam, saya akui di pasar memang lebih murah dan saya pernah membuktikan saat beli seragam di Pasar Kliwon, di pedagang setempat ada yang harganya 90 ribu dan yang di kios lebih dalam harganya 60 ribu," katanya.
Agus menanggapi apabila ada pihak ketiga kalau jual seragam ke sekolah, dirinya tidak bisa melarang. Di sekolah kan ada koperasi, bakul cilok dan lain-lain.Kan tidak bisa dilarang. Bakul buku juga silakan berjualan ke sekolah. Tapi Agus tidak mau jika harus beri rekomendasi pembelian seragam atau buku ke sekolah.
Pernyataan Kadisdik ini berkebalikan dengan fakta adanya kewajiban membayar seragam yang sudah masif. Dalam soal penentuan harga seragam, misalnya, nilainya disampaikan oleh sekolah kepada para ortu peserta didik. Dan tanpa dihitung dengan kalkulasi ekonomi pun, sudah jelas harga seragam yang disampaikan oleh sekolah kepada ortu peserta didik sangat jelas dan terjadi penggelembungan harga yang tidak wajar.
Yang disampaikan Kadisdik bahwa di sekolah tidak diketemukan pembelian seragam, ini sangat jomplang dengan adanya fakta bahwa sekolah menjual seragam. (Hery S)