Kudus, SGN.com- Ada tiga hal yang mengancam buruh /pekerja di sektor industri rokok di Kabupaten Kudus, jika Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan. Yaitu ancaman kehilangan pekerjaan, ancaman kehilangan pendapatan, hingga ancaman kehilangan jaminan sosial bagi pekerja. Bahkan untuk petani tembakau dan pengusaha malah lebih parah.
Oleh karena itu Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Kudus menolak tegas isi dari Pasal 154 Ayat (3) Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Kesehatan yang menggolongkan produk tembakau sama satu jenis dengan narkotika dan psikotropika.
"Kami akan mati-matian agar Pasal 154 ini kalau bisa didrop dari RUU Kesehatan. Kami dapat kabar akan disahkan pada Juli mendatang, sudah dipansuskan. Kami sudah mulai buat petisi di Semarang, target kami Pasal 154 RUU Kesehatan hilang," tegas Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Kudus, Andreas. Hua di kantor KSPSI Jalan Sunan Muria Kudus , Senin ( 1/5/203).
Sedang di Semarang pada hari yang sama ratusan buruh berunjukrasa di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Dan menurut Sekretaris KSPI Jateng Aulia Hakim, pengunjuk rasa berasal dari PUBG Grobogan, FSPMI-KSPI Jawa Tengah, FSP KEP-KSPI, FSP Farkes Reformasi bersama Partai Buruh di seluruh kota/kabupaten di Jawa Tengah.
Unjukrasa bertema May Day is not Holiday."Semestinya buruh memperingati hari buruh dengan liburan, jalan-jalan bahkan bersenang-senang. Karena sejatinya peringatan May Day tersebut adalah perjuangan yang saat ini masih kita lakukan khususnya pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja," ujar Aulia.
Ada 6 tuntutan buruh : yaitu : 1. Cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja.2. Tolak RUU Omnibus Law Kesehatan. 3. Sahkan RUU PPRT.4. Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan.5. Cabut UU terkait Parliamantary Treeshold 4 persen 6. Pilih Presiden 2024 yang pro Buruh dan Kelas Pekerja. Sedang di Jakarta, peringatan hari buruh sedunia ini antara ditandai dengan aksi Bakar Spanduk Raksasa 'Firli Bahuri Penghancur KPK'.
Menurut Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus seperti yang dikutip dari SGN.com, Kamis (6/4/2023), pihaknya mendukung penuh pemerintah yang tengah menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law.
Hanya, ia meminta penyusunan tersebut untuk mengedepankan tata cara penyusunan produk hukum yang baik agar tidak memunculkan masalah baru. Dalam draf RUU tersebut rokok disejajarkan dengan minuman alkohol dan narkotika. Sepertinya ini nanti akan menimbulkan masalah baru, katanya.
Ketentuan tersebut, lanjutnya, tercantum dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) dengan bunyi, zat adiktif dapat berupa, narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Sunny menilai ketentuan pukul rata zat adiktif ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif. Tujuannya agar tidak ada multitafsir yang kelak dapat memicu masalah lebih besar.
Menurutnya jika dua kategori produk yaitu legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa, perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda.
Saya memahami niat Kementerian Kesehatan dalam mendorong revisi RUU Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Namun Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya.
Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat, jelasnya.Ia juga mempertanyakan apa maksud dari ketentuan penyamarataan ini di dalam revisi RUU Kesehatan.
Apakah jika RUU Kesehatan terbit dengan ketentuan tersebut, dapat ditafsirkan jika masyarakat dapat memilih mau konsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal? Atau sebaliknya, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal? tanya dia.
Sunny turut menekankan revisi regulasi harus dikonstruksi secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan masalah baru. Selain itu, Sunny juga mengingatkan ketentuan penyusunan regulasi nasional secara prosedural harus mengacu UU 12/2011 yang diperbaharui dalam UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan apa dampak yang akan muncul dari klausul zat adiktif tersebut jika disetujui, imbuh Sunny.
Revisi RUU Omnibus Law Kesehatan ini akan mencabut dan/atau mengubah sembilan undang-undang. Yaitu UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan.
Omnibus Law Kesehatan juga mengubah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan Tinggi.(Sup)