DIPERIKSA : Tim Dinpermades Kabupaten Temanggung memeriksa proyek betonisasi jalan desa yang bermasalah di Desa Danupayan, Kecamatan Bulu. Danupayan adalah satu diantara seratus lebih desa di Kabupaten Temanggung yang tidak menyampaikan LPJ proyek Bankeu dari APBD Provinsi Jawa Tengah TA 2022. Foto : Hery Setyadi
Temanggung, SGN.com - Seratus lebih desa di Kabupaten Temanggung sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Di desa-desa tersebut, diketemukan persoalan tidak melaporkan LPJ atas proyek bantuan keuangan (bankeu) dari APBD Pemprov Jawa Tengah. Kondisi ini sangat miris, mengingat LPJ merupakan indikator transparansi penggunaan uang negara.
Dari seratus lebih desa penerima bankeu dari APBD Provinsi Jawa Tengah TA 2022 tersebut, terdapat 137 proyek yang nihil LPJnya hingga di bulan Mei 2023. Dari penelusuran SGN.com di sejumlah desa, mereka mengajukan bankeu tersebut untuk berbagai bentuk kegiatan dan pembangunan. Diantaranya, pembangunan talud, pengaspalan/betonisasi jalan desa, pembelian pakaian dan alat musik tradisional, rehabilitasi gedung kantor desa dan sebagainya.
Koordinator Peningkatan Kapasitas Desa Dinpermadesdukcapil Provinsi Jawa Tengah, Evelyn Christine yang dikonfirmasi perihal temuan ini, menandaskan bahwa sebenarnya semua penggunaan dana dari APBD ada yang mengawasi.
"Jadi tidak boleh semaunya dalam penggunaannya dan tanpa laporan pertanggungjawaban. Pasti bakal ada sanksinya," kata Evelyn. Dia menegaskan, bankeu sudah ada sejak tahun 2016 dan ada aturan mainnya.
Lingkar Studi Pengembangan Perdesaan menyoroti salah satu kasus di Desa Danupayan. Dimana di desa ini proyek betonisasi diajukan 300 meter panjang jakannya. Namun realitanya hanya dikerjakan separo. Dan ironinya, proyek ini tidak ada LPJnya.
"Kami ada upaya monitoring dan evaluasi untuk desa penerima bankeu di Jateng. Ada hal klasik, anggaran kita tidak cukup untuk mengawasi sekian ribu desa penerima bankeu," kata Evelyn mengakui.
Kami seharusnya dibantu dalam pengawasan dan monitoring penuh oleh Dinpermades Kabupaten, tambahnya. "Pengawasan kami jadi terbatas. Makanya kita perlu yang di kabupaten untuk ikut mengawasi.
Kelemahannya Dinpermades kabupaten tidak punya anggaran untuk pengawalan program, monitoring dan evaluasi.
Hal ini seharusnya ada pendampingan dana untuk mengawasi program bankeu ini.
Dispermades kabupaten memang punya anggaran, namun jumlahnya kecil. "Hanya kabupaten tertentu yang cukup besar anggaran untuk itu, seperti Boyolali, Wonogiri, Karanganyar, Banjarnegara. Mereka punya anggaran untuk pengawasan," ungkap Evelyn.
Jadi, di LPJ-nya mereka cepat menyelesaikan. Desa jug didorong cepat melaksanakan dan me-LPJ-kan. Di kabupaten-kabupaten ini mampu memberdayakan pihak kecamatan.
Anggaran di kabupaten ini ada BOP-nya. Kabupaten-kabupaten ini mengefektifkan kecamatan untuk pendampingan ke desa-desa. Kabupaten-kabupaten ini ada pembiayaan BOP dari APBD.
Karanganyar jug menjadi contoh yang baik, BOP dianggarkan di APBD. Inspektoratnya pun aktif dalam pengawasan, monitoring. Jadi pencairan cepat dan pelaporan kegiatan bangub cepat.
Kabupaten-kabupaten ini lebih baik pelaksanaan bangubnya. Kalau sampling pengawasan tetap dilakukan oleh dispermades provinsi.
"Harapan kami, para bupati punya perhatian khusus soal penganggaran BOP ini. Jangan sampai banyak temuan dari BPK.
Kita ada cara untuk antisipasi desa tidak me-LPJ-kan bankeu. Yakni kita memblaclist desa dengan cara tidak dicairkan pengajuan bankeunya. Kalau tahun sblmnya tidak menyampaikan LPJ, maka tahun berikutnya tidak bakalan diberikan bankeu.
Apapun alasannya, apakah itu desanya ada masalah, kades melarikan dana bankeu dan sebagainya, kami tegas bahwa desa tidak bisa lagi menerima bankeu, jika tidak bisa menyampaikan LPJ tahun sebelumnya," tegas Evelyn. (Hery S)