Kudus, SGN.com- Dalam kurun waktu hampir setengah abad- tepatnya 49 tahun lalu, jika tidak salah sampai sekarang belum pernah terjadi Alun Alun Simpang Tujuh Kota Kudus dijadikan arena untuk menggelar permainan berjeniss hiburan . Seperti ombak banyu, komedi putar, bianglalu/ kincir besar.
Phisik permainan berjenis hiburan tersebut sudah terpasang di sisi baratndan selatan. Selebihnya didirikan puluhan tenda berwarna seragam putih. Ini sebagai bentuk kegiatan untuk menyongsong tradisi dandangan.
Sebuah tradisi yang berlangsung sejak era Sunan Kudus dalam rangka menyambut “bulan suci” ramadhan. Dan dimulai-dibuka pada Sabtu (11/3/2023) selama 10 hari.
Menurut pakar lingkungan dari Universitas Muria Kudus, Hendi Hendro , Selasa ( 7/3/2023), pada era Bupati Kudus Soedarsono, muncul peraturan bupati tetang larangan berjualan di dalam Alun Alun Simpang Tujuh.
Lalu saat era Bupati Kudus Amin Munajat, penempatan pedagang kaki lima sebatas di luar Alun Alun Simpang Tujuh. “Konon kepenginnya niru Alun Alun Demak dan Alun Alun Pati yang memperbolehkan PKL berjualan di dalam Alun Alun. Tapi dalam beberapa tahun terakhir Pemkab Demak dan Pemkab Pati melarang PKL berjualan di dalam Alun Alun. Jadi menurut saya kurang tepat jika Alun Alun Simpan Tujuh dijadikan salah satu areal dandangan” tegasnya.
Menurut Peraturan bupati nomor 13/ 2004 tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kabuoaten KudusPasal 5 : (1) Lokasi yang dilarang dipergunakan untuk Pedagang Kaki Lima meliputi Alun-alun Simpang Tujuh, Taman Kota, Jalur Hijau, halaman tempat,peribadatan, halaman kantor pemerintah, dan ruas jalan tertentu.
Peraturan bupati tersebut dirubah menjadi Peraturan Daerah (Perda) nomor 11/ 2017 tentang penataan dan pemberdayaan PKL.Pada Pasal 16 ayat (1) Lokasi Larangan PKL (Zona Merah/Zona Bersih PKL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kawasan ruang di sepanjang pinggiran dan/atau bahu jalan raya maupun area di atas trotoar di ruang publik.(3) Pada Lokasi Larangan PKL (Zona Merah/Zona Bersih PKL) sebagaimana pada ayat (1) harus dipasang papan rambu tanda larangan berjualan untuk PKL.
Menurut Handinoto Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, dalam makalahnya yang berjudul Alun-alun sebagai Identittas Kota Jawa Dulu dan Sekarang, Alun Alun “terbangun” pada masa pra kolonial, kolonial, pasca kolonial dan setelah kemerdekaan.
Di Kudus juga ada Alun Alun Simpang Tujuh- Lokasinya berada di simpang Jalan Achmad Yani, Jendral Sudirman, Pemuda, Sunan Kudus, Sunan Muria dan jalan samping utara Masjid Besar Kudus. Bentuknya nyaris bulat dan bagai “ring tinju”( tidak lagi sejajar dengan tanah/lahan seputarnya setelah ditata ulang).
Jika mengacu pada buku Inventarisasi Benda Cagar Budaya, Peninggalan Sejarah dan Purbakala Di situs Menara, Situs Muria dan Sekiranta yang disusun tim dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Tahun Anggaran 2007, Alun Alun Simpang Tujuh kemungkinan besar dibangun semasa Adipati Tumenggung Panji Padmonegoro ditetapkan sebagai Regent I (Bupati I) Kudus tahun 1819.
.Alun Alun Simpang Tujub berada di depan seberang jalan atau berhadapan dengan rumah bupati dan pendopo kabupaten. Dan di sebelah baratAlun Alun adalah sebuah masjid. Di era itulah muncul ”, kebudayaan Indisch, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda.
Pada awal abad ke 20, terjadi westernisasi kota-kota di Nusantara. Kebudayaan Indisch, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa para pendatang baru pada awal abad ke 20.
Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa. Sesudah kemerdekaan, nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini.
Pemerintah kabupaten (Pemkab) Kudus, pada akhir 2015 menyelesaikan penataan ulang Alun Alun Simpang Tujuh dengan biaya dari APBD Kudus 2015 sebesar Rp 985 juta.. Dan menurut Sumiatun Plt Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (Cipkataru) Kudus (6/10/2015) , alun-alun Simpang Tujuh menjadi ruang publik yang sangat multi guna.
Sebagai tempat rekreasi, edukasi dan olahraga . Sekaligus sebagai taman ditandai dengan aneka jenis bunga, kursi kursi taman, beberapa sumur resapan , sumber air untuk penyemprotan alun alun di waktu musim kemarau, lampu lampu indah dan sebuah tulisan menyolok Simpang Tujuh. Tidak dijelaskan kenapa tidak ditulis lengkap Alun Alun Simpang Tujuh.
Selain itu , tetap dijadikan tempat upacara bendera. Sehingga tiang bendera dan podium upacara disesuaikan dengan mengusung konsep mirip tempat upacara di istana negara Jakarta.
Menurut informasi yang dikumpulkan SGN.com, sebelum tahun 1974 Alun Alun Simpang Tujuh sempat dijadikan terminal bus antar kota antar kabupaten maupun provinsi. Kemudian dipindah ke depan Stadion Ploso dan dipindah lagi ke Desa Jati Wetan Kecamatan Jati. Bekas Stadion Ploso dirombak menjadi pasar Bitingan dan pusat perbelanjaan/pertokoan Matahari.
Dan menjelang akhir jabatan Bupati Kudus, M Tamzil ( 2003-2008), Alun Alun Simpang Tujuh dijadikan ajang pesta kemenangan Persiku, Ditandai dengan “pengibaran” bendera raksasa suporter Persiku Macan Muria.(Sup)