Keberadaan Perhutani Tak Sejahterakan Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Banyuwangi, SGN.com - Kelompok tani sekitar hutan di Banyuwangi merasa tidak mendapatkan dampak kesejahteraan dari adanya Perhutani di wilayah mereka. Petani mengaku, bagi hasil dari hutan tidak diberikan oleh Perhutani secara semestinya kepada petani. Ada indikasi manipulatif perhitungan bagi hasil dari kayu hutan.
Hal ini diungkapkan oleh Kelompok Tani Barurejo Rahayu Makmur, Kamis (30/3). Sumber SGN.com setempat menyebutkan sinyalemen yang berkembang selama ini di masyarakat bahwasanya Perhutani diibaratkan sebagai institusi Negara di dalam Negara tidaklah berlebihan dan menunjukkan relevansinya. 

Sebelum Pemerintah menetapkan Program Perhutanan Sosial di tahun 2016, sahnya warga desa memasuki dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada disekitarnya wajib tercatat dan tergabung dalam kelembagaan yang disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan bekerjasama dengan Perhutani yang dituangkan dalam akad Perjanjian Kerjasama (PKs). Dalam PKs ini mengatur dan menetapkan perbuatan-perbuatan hukum antara seseorang dengan hutan serta hubungan hukum para pihak menyangkut sumberdaya hutan.  

Kewajiban ber PKs diatur dalam SK. 
Direksi Perhutani Nomor : 682/KPTS/DIR/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).  
"Bila kewajiban tersebut tidak dijalankan maka keberadaan warga desa dalam memanfaatkan kawasan hutan adalah perbuatan illegal dan berpotensi dipidana. Disinilah  sesungguhnya dimulainya tragedi kemanusiaan paling memilukan  yang dihadapi dan dialami masyarakat desa sekitar hutan di Pulau Jawa dan Madura," ungkap Andrianto pendamping LMDH-KTH Barurejo Rahayu Makmur.

Hanya berpedoman pada SK,  Direksi Perhutani yang mewajibkan adanya PKs maka semua pihak tunduk dan patuh mulai dari Perangkat Desa (Pemdes), Pemerintah Daerah (Pemda) maupun aparat penegak hukum (APH). Selama puluhan tahun PKs  dipercayai dan diyakini sebagai akad legal sahnya memanfaatkan kawasan hutan, tambahnya.
Otoritas keberadaan Perhutani itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/2010 tentang Perum Perhutani. Dalam PP ini jelas bahwa Perhutani terbatas hanya mengatur dan melaksanakan hal-hal dan tugas pengurus dan urusan internal organisasi perusahaan seperti kepengurusan perusahaan, penyerahan kekuasaan Direksi, ketenagakerjaan, pengurusan dan pemilikan kekayaan perusahaan. 

Didalam PP No. 72/2010 tidak diketemukan ketentuan hukum yang memberikan kewewenangan kepada Direksi Perhutani untuk mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan, termasuk mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum para pihak didalam PHBM. Selain itu, semenjak Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan RI menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 39/Menhut-II/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan maka PHBM yang dilaksanakan Perhutani harus menyesuaikan dengan Peraturan ini. 

Jadi sejak diundangkannya Permenhut  P. 39/2013 tanggal 19 Juli 2013 akad legal dalam pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat adalah Perjanjian Kemitraan Kehutanan dan bukan Perjanjian Kerjasama (PKs) yang ditandatangani Administratur KPH Perhutani dan Ketua LMDH. Sebagai BUMN Kehutanan, produk Perhutani berupa PHBM dan PKs tidaklah memiliki keabsahan/legitimasi hukum untuk diberlakukan dalam pengaturan masyarakat dengan hutan. Inilah keberlangsungan kejahatan kemanusiaan yang berjalan selama ini yaitu dengan menggunakan  PHBM dan PKs sebagai alat pembenaran/legitimasi penguasaan sumberdaya hutan, termasuk mengkriminalisasikan warga desa sekitar hutan di Pulau Jawa dan Madura. 

Andrianto yang bernaung dalam lembaga Lingkar Studi Pemberdayaan Perdesaan (LSPP) ini, selaku pendamping salah satu kelompok tani di Banyuwangi yang telah mendapatkan pengesahan KULIN KK dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada awal 2019, hingga saat ini secara faktual sebenarnya tidak terjadi perubahan perbaikan kualitas hidup apapun bagi penerima SK KULIN KK. 

Kinerja Perhutani masih tetap mewarisi pola lama dalam menjalankan dominasinya di tingkat tapak. Pentingnya menjaga keamanan hutan maupun jiwa berbagi dengan para pihak, khususnya kelompok tani dalam pengelolaan/pemanfaatan hutan yang sering kita dengar adalah sekedar gimik. 

Sebagai contoh kasus yang hingga saat ini masih berlangsung adalah bagi hasil/sharing atas tebangan pohon Jati yang telah selesai dilakukan menjelang akhir tahun 2021 lalu di areal kerja Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Untuk sekedar mendapatkan informasi besarnya nilai dana sharing/bagi hasil  tebangan kayu yang menjadi hak kelompok tani selaku mitra,  jajaran Perhutani tertutup dan saling lempar tanggung jawab mulai dari tingkat Administratur KPH, Devisi Regional (Divre) hingga Direksi Pusat. 

Sudah lebih dari 1 tahun hanya sekedar untuk bisa mengurus dan merealisasikan pembayaran sharing  yang menjadi hak kelompok tani saja ternyata Perhutani tidak mampu melakukannya. Sebagai organisasi dengan kelengkapan kepengurusan mulai dari Direksi, Dewan Pengawas, Divre hingga KPH sesungguhnya Perhutani telah gagal dalam menjalankan amanat sebagai BUMN Kehutanan yang baik dan benar. Keberadaan Dewan Pengawas Perhutani yang dikukuhkan melalui SK. Menteri BUMN juga tidak memiliki dampak dan pengaruh nyata untuk melakukan perbaikan etos dan kinerja Perhutani di tingkat tapak, apalagi mendorong  kesejahteraan keluarga petani desa.

Dalam keterangan jawabannya, pihak Direksi Perhutani menyebutkan bahwa bagi hasil kayu sudah ditransfer ke daerah. Namun dari pihak kelompok petani membantah bahwa dana tersebut belum mereka terima dan dari informasi nilai bagi hadilnya ada keganjilan yakni nilai bagi hasilnya tidak sesuai dengan kuantitas nilai kayu yang sudah ditebang. (Hery S)
Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top