teks foto : Suhardi (66) pensiunan karyawanan pabrik rokok ternama di Kudus. Pasangan pengusaha rokok skala kecil "bapak dan anak". Pekerja giling rokok . Foto Sup ( 5/2/2023)
Kudus, SGN.com- Visi Perusahaan /Pabrik Rokok (PR) Wido, menjadi perusahaan rokok besar , yang
memiliki kepedulian pada lingkungan dan konsumen rokok di dalam maupun luar negeri. Sedang misinya : menyediakan produk rokok berkelas dunia dan konsisten.
Ketika visi dan misi terebut ditrapkan seiring berdirinya PR Wido tersebut pada 7 Januari 2010, maka dua tahun setelah itu. Tepatnya 10 Desember 2012 , PR Wido meraih penghargaan “Sebagai Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau Skala Kecil” dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Type Madya Cukai Kudus, yang ditandangani kepala kantor Nugroho Wahyu Widodo.
Meski visi-misinya mungkin dianggap “gila” atau paling tidak berlebihan, tetapi melihat fungsinya maka sudah terbukti untuk sekelas pabrik rokok skala kecil ini. Fungsi yang dimaksud :seperti memberikan standar kerja, meningkatkan motivasi kerja, produktivitas —kinerja, pedoman kerja, loyalitas kerja, menjadi acuan bagi perusahaan dan memberikan tujuan dasar.
“ Kami juga hanya bermodal tiga orang pekerja dan sejumlah bahan baku- tembakau dan cengkeh. Kami juga tidak menggunakan dana perbankan (pinjaman) Sedang modal utama sebenarnya, sudah memiliki pengalaman puluhan tahun di industri rokok” ujar Suhardi Riyanto (66) yang ditemui di rumahnya Desa Singocandi RT 03/RW 02 Kecamatan Kota Kudus, Minggu ( 5/2/2023).
Pengalaman ini diteruskan dan diperdalam anak keduanya Harwida Wijaya (34). Kemudian setelah Suhardi pensiun, bersama isterinya Wiwik Widoretno dan Harwida mendirikan perusahaan dengan ijin dari Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor Pokok NPPBKC 0603.1.3.5838.
Sementara kedua anak yang lain, Yuike Wijayanti dan Heaven Wijayanti tidak mengikuti jejaknya. Wiwik Widoretno sendiri hanya mampu berkiprah hingga 12 Desember 2017, karena pada saat itu ia meninggal.
Dibanding dengan perusahaan rokok pada umumnya. Terutama pabrikan skala besar, dalam mentrapkan sistem upah borong, tapi bagi PR Wido memilih upah harian. “Pada umumnya pekerja borong lebih banyak mengejar hasil sebanyak mungkin- mengejar target.
Semakin banyak hasil produksinya semakin banyak upah yang diterima. Sebaliknya tenaga harian lebih mengedepankan kualitas, karena setiap harinya kami sudah pasti memberikan upah sesuai upah minimum kabupaten (UMK)” tegas Suhardi.
Pekerja harian yang nyaris seluruhnya perempuan dan berjumlah puluhan orang ini, juga menggunakan tenaga yang siap pakai dan berpengalaman. Bahkan menariknya lagi mereka sebagian besar mampu bertindak sebagai pekerja giling, bathil dan sekaligus pengepakan .
Ini berbeda dengan perusahaan rokok lainnya, yang selalu mempekerjakan “tukang giling” , “ tukang bathil”, pengepakan secara tersendiri dengan upah berbeda. Pekerja harian di PR Wido bekerja sejak pukul 07.00 - 16.00 WIB dengan masa istirahat satu jam dan memperoleh makan sekali.
Selain memilih mentrapkan upah harian, Suhardi yang didampingi Harwida menambahkan, juga memilih bahan baku yang berkualitas, sehingga akan menghasilkan batang batang rokok yang berkualitas pula. Hal ini juga akan berdampak positif bagi konsumen yang lebih memilih rokok berkualitas.
Hasilnya saat awal memproduksi 12.000 batang rokok sigaret kretek tangan (SKT) per hari dengan daerah pemasaran hanya terbatas di Kota Kretek saja. Namun lima tahun kemudian (2015) melejit tiga kali lipat menjadi 36.000 batang per hari.
Daerah pemasaran meluas ke sejumah wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat Pada tahun 2016 melonjak lagi hingga 108.000 batang per hari atau sekitar 45 bal/hari, dengan cakupan pasar di Jawa , Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan. Bahkan “pasangan” ayah dan anak ini, pada tahun 2019 mulai memproduksi sigaret kretek mesin (SKM).
“Tapi tidak sepenuhnya kami operasikan, karena tarif pajaknya disamakan dengan pabrikan golongan dua dan golongan satu, sehingga memberatkan bagi kami. Sedang untuk produksi SKT maupun SKM di awal tahun 2023 (Januari hingga awal Februari) belum tembus lagi di angka 108.000 batang per hari.”
Rokok sebanyak itu dikemas dalam bentuk SKT dengan memunculkan 12 jenis merk dagang SKT yang meliputi : Kembang Madu, Zoue, Gunung Madu, Daoen, B & J hitam rasa kopi, B & J putih netral taste, B &J ungu rasa anggur, B & J orange rasa jeruk, B & J hijau original taste, Wisnu Raya, Jaga dan Goela Aren hijau.
Ditambah klembak menyan : Goela Aren dan 10 jenis SKM : B & J hitam rasa kopi, B & J putih neutral-taste, B & J ungu rasa anggur, B & J orange rasa jeruk , B & J hijau original taste, filter, LK Bold, LK Filter, Wisnu Bold, Goela Aren Teh Manis “Untuk memberi nama/merk tersebut cukup rumit dan membuat kepala mumet.
Betapa tidak merk yang pernah terdaftar di Bea Cukai, dilarang digunakan lagi. Padahal jumlah yang pernah didaftarkan jumlahnya ribuan.” Ujar Suhardi sembari tertawa.
Meski cita-citanya menembus pasar nasional-internasional dengan produk berkualitas, masih sangat jauh terjangkau, tetapi langkah dan kiprah Suhardi dan Harwida, dalam menjalankan usahanya di bidang SKT dan SKM, patut dicontoh dan ditrapkan di kalangan PR skala kecil.
PR skala kecil ibaratnya “diinjak-injak”. Bahkan jika perlu “dimatikan”. Ironisnya masih banyak ditemukan produsen rokol illegal yang memang diakui atau tidak melanggar berbagai bentuk peraturan perundangan yang berlaku.
Di sisi lain, penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya sangat besar. Dalam hal ini pos anggaran untuk sosialisasi dan pembrantasan rokok illegal. Selain tidak pernah mampu tuntas mengatasi, yang juga dipertanyakan adanya kemungkinan besar sasaran yang tidak pernah tepat,
Padahal jika mengacu pada PR Wido dengan “pasangan ayak anak “ tersebut, yang mampu membuktikan dirinya sebagai pabrikan skala kecil. Tanpa dukungan perbankan, DBHCHT, maupun fasilitas lain, hingga tidak adanya pelanggaran, PR mampu hidup dan berkembang. Mampu memberikan kontribusi untuk negara ( dari cukai) dan penyerapan tenaga kerja dari hulu sampai hilir.(Sup)