Kudus, SGN.com- Koperasi produsen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Kelompok Terpadu Nusantara (Primer Nasional) yang berada di Jalan Jendral Sudirman Desa Golantepus Kecamatan Mejobo Kabupaten Kudus menjual minyak goreng kemasan rakyat (MGR) sebagai awal usahanya, yang baru dirintis pada tanggal 9 September 2022.
Pemilihan jenis usaha di bidang MGR, dilatar-belakangi kelangkaan minyak goreng, yang kemudian memicu antrian cukup panjang, perebutan hingga aksi tipu —tipu, yang terjadi pada awal tahun 2022. “ Setelah melalui proses panjang dan rumit, akhirnya kami bisa melakukannya.
Dan sampai saat ini masih tetap bertahan dan kecenderungan meningkat, sehingga ada rencana untuk mendirikan semacam pusat perbelancaan mini. Semuanya itu untuk lebih membantu tumbuh dan berkembangnya UMKM sekaligus utnuk kepentingan masyarakat kecil” tutur Ketua Koperasi Primer Nasional, induk UKM pengemasan MGR, Mughtanim, Kamis (2/2/2023) di kantornya yang berdekatan dengan SMK PGRI I.
Koperasi ini membeli minyak goreng dari salah satu pemasok di Jakarta sebanyak 27 — 28 ton Atau sekitar 28.000 — 29.000 liter secara tunai dengan harga Rp 13.900,- per liter. Setibanya di Kudus ( di kantor koperasi), minyak tersebut dialirkan ke banyak bak penampung, kemudian dialirkan menuju peralatan sterilisasi.
“Setelah itu proses akhir dimasukkan ke kemasan. Dengan ukuran/bobot/isi masing masing kemasan satu liter. Kami jual dengan harga Rp 14.750,- - Rp 14.800. Dalam tempo sekitar seminggu sudah ludes terjual “ tegas Mughtanim.
Kenapa tidak dijual sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14.000,- per liter ?
Menurut pembina kopersi, Nindyar Santo : harga dari pabrik sudah sangat tinggi dan langka. Untuk mendapatkan minyak tersebut kita antre berhari hari dan kadang belum mendapatkan kepastiannya dan harus bayar tunai .
Sementara pengusaha CPO lebih memilih ekspor karena harganya lebih tinggi. Jadi masyarakat dikorbankan oleh pemerintah dan pengusaha dengan kran ekspor yang lebih besar dari pada kepentingan rakyat sendiri.”
Menurut harian Kompas, Jumat ( 3/2/2023), tahun ini, harga minyak goreng juga naik. Kendati belum sampai memicu keresahan sosial seperti tahun lalu, tetap ada problem krusial yang tak boleh diabaikan. Problem krusial itu adalah kenaikan harga minyak goreng kemasan merek Minyakita.
Sebuah truk berisi minyak goreng. Proses sterilisasi dan pengemasan minyak goreng per Kamis 2/2/2023, Foto: Sup.
Minyakita merupakan ”senjata” pemerintah untuk meredam kenaikan harga minyak goreng di pasar dalam negeri. Minyak goreng ini merupakan bagian dari program Minyak Goreng Rakyat yang diluncurkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada 6 Juli 2022.
Minyak goreng ini bersumber dari implementasi kebijakan kewajiban mema-sok kebutuhan pasar domestik (DMO) minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan tiga produk turunannya.Kemendag mematok harga eceran tertinggi (HET) Minyakita di tingkat konsumen Rp 14.000 per liter.
Namun, miris rasanya lantaran minyak goreng untuk rakyat sekaligus ”senjata” penstabil harga justru malah naik harga sehinggakehilangan fungsinya. Mulai medio Desember 2022, harga Minyakita merangkak naik menjauhi HET.
Berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kemendag,harga rata-rata nasional Minyakita per 1 Februari Rp 14.900 per liter. Harga tersebut naik 5,67 persen dari bulan lalu dan 6,43 persen dibandingkan dengan awal Desember 2022.
Harga Minyakita tertinggi ada di Gorontalo yang mencapai Rp 20.000 per liter. Disusul Bengkulu Rp 16.667 per liter, Sulawesi Selatan Rp 15.667 per liter, bahkan DI Yogyakarta dan Jawa Tengah yang masing-masing Rp 15.667 per liter dan Rp 15.625 per liter.
Investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di sejumlah daerah di Indonesia mengafirmasi kenaikan harga Minyakita.
Bahkan, Minyakita sulit ditemukan di beberapa daerah. KPPU juga menjumpai Minyakita diperdagangkan secara bersyarat (tying-in) dengan produk lain di Surabaya, Balikpapan, dan Yogyakarta. Ada juga yang menjadikan Minyakita sebagai minyak curah dan dijual dengan harga lebih tinggi.
Selain itu, ada distributor yang tidak mendistribusikan Minyakita ke pasar dengan alasan akan disalurkan untuk industri. Persoalan itu sebenarnya masih berakar pada prinsip dasar ekonomi, yakni permintaan dan penawaran. Permintaan Minyakita tinggi lantaran banyak diminati berbagai kalangan ketimbang minyak goreng curah. Sementara penawaran atau pasokan minyak goreng yang bersumber dari DMO itu mulai turun perlahan.
Kemendag mencatat, realisasi DMO bulanan untuk kebutuhan Minyakita terus turun selama tiga bulan terakhir. Realisasi DMO pada November 2022 mencapai 100,94 persen dari target pemenuhan 300.000 ton per bulan. Kemudian pada Desember 2022 dan Januari 2023, realisasinya turun masing-masing menjadi 86,31 persen dan 71,81 persen.
Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut akar dari masalah itu adalah trilema hulu sawit Indonesia. Ada perebutan bahan baku sawit untuk ekspor, implementasi Biodiesel 35 atau B35 per 1 Februari 2023, dan pangan (Kompas, 1/2/2023).
Trilema itu justru terjadi di tengah stagnasi produksi CPO dan minyak inti sawit (CPKO),serta kenaikan konsumsi CPO dan produk turunannya dalam empat tahun terakhir. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, rata-rata produksi CPO pada 2019-2022 sekitar 51 juta ton.
Pemanfaatan CPO dan CPKO untuk konsumsi domestik meningkat dari 16,74 juta ton pada 2019 menjadi 20,97 juta ton pada 2022. Industri pangan mendominasi konsumsi itu dengan peningkatan komsumsi sebesar 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 9,94 juta ton pada 2022.
Kemudian disusul industri biodiesel dengan peningkatan sebanyak 5,83 juta ton menjadi 8,84 juta ton. Penerapan mandatori B35 tahun ini akan menambah konsumsi sekitar 1,2 juta ton. Sementara konsumsi industri olekimia ertambah dari 1,06 juta ton pada 2019 menjadi 2,19 juta ton di 2023.
Adapun total volume ekspor CPO dan produk turunannya cenderung turun dari 37,43 juta ton pada 2019 menjadi 30,8 juta ton pada 2022. Penurunan ekspor pada 2022 terjadi akibat larangan ekspor CPO pada 28 April-23 Mei.
Hal itu menunjukkan, di balik kenaikan harga Minyakita, masih ada serentetan persoalan yang saling berkaitan. Pangkal persoalan itu berada pada produksi sawit yang stagnan, sedangkan permintaan melonjak.
Sebelum terlambat, yang paling penting di jangka pendek ini adalah mengembalikan lagi harga Minyakita sesuai HET. Caranya dengan menambah stok, memeratakan distribusi, serta mengawasi dan memastikan DMO terealisasi minimal sesuai target.
Pada 30 Januari 2023, Badan Pangan Nasional dan Kemendag menaikkan DMO minyak goreng dari 300.000 ton menjadi 450.000 ton. Kebijakan itu berlaku selama
Februari-Maret 2023. Menteri Perdagangan bahkan menjanjikan Minyakita seharga Rp14.000 per liter akan banyak tersedia di pasar dalam dua minggu ke depan.
Jangan sampai ”senjata” penstabil harga justru semakin tumpul dan menjadi bumerang untuk rakyat. Jangan sampai dejavu minyak goreng benar-benar terealisasi pada tahun ini. Mari kita tunggu perkembangannya dalam dua pekan mendatang.(Sup)