Sistem Proporsional Terbuka Atau Tertutup.

Kudus,SGN.com- Pilihan terhadap sistem pemilihan umum proporsional terbuka sebenarnya merupakan upaya untuk membuka partisipasi rakyat sebagai pemilih untuk turut menentukan siapa wakil rakyat yang dikehendaki. Meskipun demikian,efek samping dari penerapan sistem proporsional terbuka dalam tiga kali pemilu terakhir memang perlu dicarikan solusinya.

Sstem pemilu proporsional terbuka sebenarnya sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2004.Namun, penerapannya saat itu masih belum berdampak pada calon anggota legislatif terpilih.Pemilih sudah disuguhi nama calon anggota legislatif, tetapi tidak secara langsung menentukan terpilihnya wakil rakyat.Caleg terpilih tetap ditentukan berdasarkan nomor urutnya.

Penerapan sistem pemilu proporsional terbuka secara penuh yang dibarengi dengan terpilihnya caleg berdasarkan suara terbanyak resmi diberlakukan sejak Pemilu 2009. Di pemilu ini, pemilih, selain memilih partai, ia juga berhak memilih atau mencoblos calon anggota legislatif yang ia kehendaki.

Jadi, mekanismenya,kursi yang berhasil diraih partai akan diduduki  caleg dari partai tersebut yang memiliki suara terbanyak di daerah pemilihan tertentu.Artinya, tingkat persaingan caleg sebenarnya relatif terbuka.

Caleg tidak saja bersaing dengan caleg yang berbeda partai politik, tetapi juga berkontestasi dengan caleg yang berasal dari partai politik yang sama. Fenomena persaingan yang relatif terbuka inilah yang kemudian membuka ruang bagi hadirnya praktik politik uang yang lebih masif.

Kondisi ini berlangsung hingga tiga pemilu terakhir.Itulah mengapa ketentuan sistem pemilu proporsional terbuka ini kembali diajukan ujimateri ke Mahkamah Konstitusi. Uji materi terutama terkait dengan ketentuan di Pasal 68Ayat (2) Undang-Undang No-mor 7 Tahun 2017.

SISTEM PROPORSIONAL TERBUKAMENDEKATKAN PILIHAN RAKYAT
Pilihan terhadap sistem pemilihan umum proporsional terbuka sebenarnya merupakan upaya untuk membuka partisipasi rakyat sebagai pemilih untuk turut menentukan siapa wakil rakyat yang dikehendaki.

 Meskipun demikian,efek samping dari penerapan sistem proporsional terbuka dalam tiga kalipemilu terakhir memang perlu dicarikan solusinya.Sistem pemilu proporsional terbuka sebenarnya sudah mulaiditerapkan di Indonesia sejak Pemilu 2004.

Namun, penerapannya saat itu masih belum berdampak pada calon anggota legislatif terpilih.Pemilih sudah disuguhi nama calon anggota legislatif, tetapi tidak secara langsung menentukan terpilihnya wakil rakyat.Caleg terpilih tetap ditentukan berdasarkan nomor urutnya.

Penerapan sistem pemilu proporsional terbuka secara penuh yang dibarengi dengan terpilihnya caleg berdasarkan suara terbanyak resmi diberlakukan sejak Pemilu 2009. Di pemilu ini, pemilih, selain memilih partai, ia juga berhak memilih atau mencoblos calon anggota legislatif yang ia kehendaki. 

Jadi, mekanismenya,kursi yang berhasil diraih partai akan diduduki  caleg dari partai tersebut yang memiliki suara terbanyak di daerah pemilihan tertentu.Artinya, tingkat persaingan caleg sebenarnya relatif ter-buka. Caleg tidak saja bersaing dengan caleg yang berbeda partai politik, tetapi juga berkontestasi dengan caleg yang berasal dari partai politik yang sama.

Fenomena persaingan yang relatif terbuka inilah yang kemudian membuka ruang bagi hadirnya praktik politik uang yang lebih masif. Kondisi ini berlangsung hingga tiga pemilu terakhir.Itulah mengapa ketentuan sistem pemilu proporsional terbuka ini kembali diajukan uji materi ke Mahkamah Konsti-tusi. 

Uji materi terutama terkait dengan ketentuan di Pasal 68Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Pasal itu mengatur, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Enam pemohon yang didampingi Sururudin, Iwan Maf-tukhan, dan Aditya Setiawan selaku kuasa hukum meminta Mahkamah Konstitusi mengganti sistem pemilu proporsional terbuka menjadi propor-sional tertutup. Pasalnya, sistem proporsional terbuka dinilai bertentangan dengan konstitusi serta menimbulkan masalah multidimensi, seperti politik uang serta memperlemah identitas kepartaian (30/12/2022).

Fakta adanya uji materi inilah yang kemudian menjadi salah satu isu yang dikemukakan Ketua Komisi PemilihanUmum (KPU) Hasyim Asyari yang menyinggung soal kemungkinan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka kembali ke daftar tertutup.

 Pernyataan ini pun menuai kritik. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang aktif di isu kepemiluan juga menolak wacana kembalinya sistem pemiluke proporsional tertutup.Tidak hanya itu, delapan dari sembilan fraksi di DPR RI menolak penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. 

Mereka adalah Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra,Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang setuju dengan penerapan kembali sistem proporsional tertutup atau pemilih hanya mencoblos gambar partai di pemilu.

Efek samping
Sikap PDI-P yang mendorong sistem proporsional tertutup beralasan karena peserta pemilu adalah partai politik, bukan calon anggota legislatif. Sistem pemilu proporsional tertutup juga lebih tepat untuk diterapkan di tengah ketidak-pastian global. Bagi PDI-P, sistem pemilu proporsional tertutup bisa menyederhanakan proses dan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu.

Memang, kalau kita lihat dan belajar dari tiga pemilu terakhir, fenomena yang terjadi adalah munculnya efek samping dari sistem proporsional terbuka dengan caleg suara terbanyak ini. Selain fenomena politik uang, biaya politik yang dikeluarkan caleg juga tidak murah.

 Sistem ini menekankan pada kontestasi yang bertumpu pada pertarungan antarcaleg(candi date center) bukan bertumpu pada partai politik.Efek samping ini juga diakui oleh organisasi keagamaan, se-perti halnya sikap yang dikemukakan  Pengurus Pusat Muhammadiyah yang juga mendorong penerapan sistem proporsional tertutup.

 BagiMuhammadiyah, sistem pemiluproporsional tertutup bisa mengurangi kanibalisme politik yang berpotensi menimbulkan polarisasi di masyarakat. ”Dengan sistem tertutup atau terbuka terbatas, diharapkan praktik politik uang dapat berkurang,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah AbdulMuti (04/1/2023).

Selain soal efek samping dengan maraknya politik uang dan pelemahan institusi partai politik, penerapan sistem pemilu proporsional terbuka juga secara teknis lebih merepotkan dan menyulitkan pemilih. 

Selain teknis pencoblosan surat suara antara partai dan caleg,pemilih juga akan dihadapkan dengan banyaknya partai politik yang menjadi peserta pemilu.Data KPU mencatat, jumlahsuara tidak sah di pemilih legislatif tercatat masih tinggi. Di Pemilu 2019 suara tidak sah mencapai 17,5 juta atau sekitar11,1 persen dari suara nasional.

Angka ini sedikit lebih menurun jika dibandingkan dengan dua pemilu sebelumnya.Di Pemilu 2014, suara tidaksah di pemilihan umum legislatif mencapai 14,6 juta (10,5persen dari suara nasional). Se-mentara di Pemilu 2009 angkanya lebih besar lagi, yakni mencapai 17,5 juta suara tidak sah atau setara dengan 14,4 persen suara nasional.

Mandat rakyat
Namun, dari sekian efek samping yang ada, sepanjang tiga pemilu terakhir yang sudah menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak bagi caleg terpilih adalah potret mendekatkan pilihan rakyat yang memberikan mandatnya secara langsung kepada caleg yang dikehendaki terasa semakin terbuka. Pemilih bisa menentukan caleg pilihannya, bahkan pamor caleg turut menentukan keterpilihannya, apa pun partai politik yang menjadi kendaraannya.

Data KPU juga mencatatkan,ada kecenderungan pemilih lebih antusias menggunakan hak pilihnya dengan mencoblos nama caleg. Data Pemilu 2019 menyebutkan, dari 16 partai politik peserta pemilu, kecenderungan suaranya lebih banyak disumbang  suara caleg dibandingkan dengan suara murni partai politik.
Rata-rata suara caleg menyumbang sekitar 70 persen terhadap total suara partai politik. 

Hal ini mengindikasikan, pemilih cenderung antusias menggunakan hak pilihnya karena bisa mencoblos caleg yang dikehendakinya.Tidak heran jika kemudian muncul pembajakan caleg-caleg potensial yang dilakukan partai untuk memberikan efek elektoral terhadap partai politik.Partai politik mencoba peruntungan mendulang dukungan pemilih dengan memanfaatkan jaringan dan basis pendukung dari sang caleg.

Terkait dengan analisis adanya pelemahan partai politik dengan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sedikit banyak juga terpatahkan.Bagaimanapun, daftar caleg tetap menjadi otoritas partaipolitik, bahkan fenomena munculnya favoritisme caleg partai politik juga terjadi sebagai antitesis dari sistem pemilu proporsional terbuka itu sendiri.

Pengalaman ini terjadi di Pe-milu 2019. Gejala favoritisme ini tampak dari kasus pergantian calon anggota legislatif terpilih di Pemilu 2019 lalu. Sejumlah nama calon anggota legislatif,baik DPR RI maupun DPRD,menjadi korban atas keputusan sepihak partai politik. Mereka yang berjuang untuk menda-patkan suara pemilih harus rela tunduk pada keputusan partai yang memutuskan calon anggota legislative lain untuk terpilih menduduki kursi legislatif dengan sejumlah alasan.

Gejala penggantian caleg terpilih cenderung diduga atas peran elite partai di tingkat pusat yang semakin mengindikasikan ada gejala favoritisme dalam tubuh partai terhadap caleg. Ada caleg yang memiliki akses dan dekat dengan pengurus partai ditingkat pusat yang cenderung lebih diuntungkan terkait de-ngan kepentingan elektoral dipemilu. Sementara di satu sisi,ada caleg yang boleh jadi tidak memiliki akses sekuat dari caleg satunya, yang kemudian cenderung dirugikan terkait dengan urusan elektoral mereka di pemilu.

Solusi.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana solusi untuk menengahi ”perdebatan” antara tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka dan kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup ini? Pada akhirnya, apa pun pilihan sistem pemilu tetap mengandung kelemahan dan kelebihan. 

Perrimbangan terbesar penerapan sistem pemilu proporsional terbuka dengan penerapan caleg terpilih berbasis suara terbanyak adalah untuk mendekatkan pada pilihan rakyat. Tentu,saat itu semangatnya adalah upaya melawan tertutupnya akses pemilih untuk turut menentukan wakil rakyat ketika sistem pemilu masih proporsional tertutup.

Pemerhati pemilu dan demokrasi, Masykurudin Hafidz,menawarkan jalan tengah untuk menjadi jembatan di antara keduanya. Jalan tengah itu dengan menambal kelemahan-kelemahan yang ada sebagai efek samping dari proporsional terbuka. Misalnya, proporsional terbuka menyuburkan politik uang. 

Menurut Masykurudin,kelemahan ini bisa diatasi dengan tiga cara, yaitu menerapkan teori supply-demand, patuh terhadap pengumpulan dan distribusi biaya kampanye,membangun soliditas calon serta kebersamaan dalam kam-panye.

”Sekuat-kuatnya permintaan(demand) masyarakat pemilih terhadap politik uang, jika partai politik atau calon tidak memberi (supply), politik uang tidak terjadi. Kunci ada atau tidak adanya politik uang bukan pada penerima, melainkan pada pemberi. Jika peserta pemilu bersama dengan pelaksana kampanyenya sepakat untuk tidak memberikan uang, politik uang tidak terjadi,” ungkapnya.

Solusi lainnya tentu adalah mengembalikan perdebatan ini setelah perhelatan pemilihan umum. Bagaimanapun, saat inisejumlah tahapan pemilu sudahberjalan.
 Perbincangan soal diubah tidaknya sistem pemilu ada baiknya dilakukan saat revisi undang-undang pemilu nanti setelah selesainya semua proses tahapan Pemilu 2024.

Apalagi delapan fraksi DPR meminta Mahkamah Konstitusi konsisten pada putusan sebelumnya dengan mempertahankan Pasal 168 dengan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka. Terlepas apa pun pi-lihannya, mendekatkan pilihanrakyat terhadap proses pemilutetap harus diutamakan.(Jumat 6 Januari 2023/sup)
Sumber: Kompas

Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top