Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa, Solusi atau Masalah?

Jakarta, SGN.com- Belum lama ini para kepala desa seluruh Indonesia melakukan demonstrasi di gedung DPR. Mereka menuntut perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Kemudian tuntutan itu direspons positif oleh pemerintah dan DPR. Bahkan, Badan Legislasi dan sebagian anggota fraksi partai politik di DPR mengusulkan agar revisi Undang-Undang (UU) Desa menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2023.

Presiden Joko Widodo menanggapi masalah itu dengan memberi respons positif ber-kaitan dengan tuntutan demontrasi. Kemudian diikuti dengan sikap pembantu Presiden yang mendukung usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa, seperti Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana; dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar.Bahkan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyatakan telah menyiapkan kajian akademik tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.

Wacana revisi UU Desa sebenarnya bukanlah isu baru karena pada 2021 pernah dilakukan uji materi terhadap UU Desa ini ke Mahkamah Konstitusi(MK), khususnya mengenai masa jabatan kepala desa. MK kemudian menerbitkan Putusan No 42/PUU-XIX/2021 yang menyebutkan bahwa pembatasan masa jabatan kepala desa selama enam tahun, dengan paling banyak tiga kali masa jabatan, merupakan aturan yang konstitusional.

MK berpendapat, alasan ketidakcukupan waktu untuk menjalankan visi dan misi kepala desa jika masa jabatan dibatasi selama enam tahun bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Bahkan, jika dibandingkan dengan masa jabatan untuk pejabat publik yang dipilih secara langsung—yang ditetapkan hanya lima tahun dan hanya dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan—jabatan kepala desa sudah dinilai maksimal, yakni 18 tahun.

Tuntutan masa jabatan kepala desa ini harus dibaca dari sudut pandang lebih luas. Terutama dari sudut pandang Indonesia sebagai negara demokrasi. Regenerasi pemimpinan merupakan ciri mutlak dari demokrasi prosedural. Sistem demokrasi procedural mengandung konsekuensi pembatasan masa jabatan bagipejabat publik. Oleh karena itu,desa sebagai institusi demokrasi lokal mengatur mengenai pemberian batasan jabatan bagi ke pala desa yang hanya enam tahun dan bisa dipilih dalam tiga kali masa jabatan sebagaimana diatur di Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Spirit pembatasan masa jabatan kepala desa di UU Desa harus dimaknai sebagai spirit melaksanakan dan mewujudkan penyelenggaraan demokrasi dan pembatasan kekuasaan, yang juga merupakan spirit UUD 1945. Jelas secara filosofis dan teoretis, pembatasan kekuasaan berdasarkan UUD 1945, selain agar terjadi pergantian kepemimpinan, juga memiliki tujuan agar Indonesia terhindar dari sistem otoritarianisme.
Kekuasaan yang terlalu lama berpotensi memperbesar kekuasaan kepala desa.

Jika dilihat dari alasan yang disampaikan para kepala desa yang menuntut masa jabatan
diperpanjang menjadi sembilan tahun, sesungguhnya tidak jauh beda dengan alasan yang pernah diterima MK, yaitu adanya konflik di dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa yang dianggap berdampak pada pembelahan sosial yang tidak kunjung selesai dihadapi kepala desa, dan adanya dampak terhadap pembangunan desa yang terbengkalai akibat konflik.

Lalu, pertanyaan berikutnya, apakah durasi masa jabatan menjadi solusi? Jika berkaca pada pengalaman penyelenggaraan pemerintahan, justru masa jabatan yang panjang dapat menimbulkan praktik pembangunan menjadi lebih sulit karena masa jabatan yang panjang cenderung menimbulkan otoriteritarianisme, praktik koruptif dan nepotisme.

Kita bisa melihat bagaimana masa jabatan yang panjang dipergunakan di era kepemimpinan Soeharto di masa Orde Baru. Selain menimbulkan pembesaran kekuasaan, juga membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan yang meluas. Sementara di sisi lain, sistem demokrasi dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan cenderung menimbulkan gerakan perlawanan sosial di masyarakat.

Alih-alih ingin memberi solusi dalam masalah pembangunan, justru  enimbulkan
masalah baru yang lebih besar. Di negara lain, praktik pemberian masa jabatan yang sa-ngat lama hanya dilakukan dinegara-negara dengan sistem monarki konstitusional. Misal-nya, Kamboja yang pernah mengusulkan agar Perdana Menteri Hun Sen diberi kuasalebih dari 30 tahun atau China yang menghapus batas waktu masa jabatan presiden.

Sementara Indonesia merupakan negara demokrasi. Masa jabatan yang lama di dalam sistem demokrasi bisa membuat kepala desa mabuk kekuasaan, meminjam istilah Bivitri Susanti. Kekuasaan bisa memabukkan dan membuat pemegang kekuasaan bisa bertindak di luar akal sehat seperti mempraktikkan model otoriter.
 Padahal, generasi/peralihan  kepemimpinan di masyarakat sangat dibutuhkan dalam konteks penyegaran ide dan gagasan mengenai pembangunan desa. 
Demokratisasi desa:
Demokratisasi dalam pengertian sederhana ialah pelibatan masyarakat politik ke dalam sistem pemerintahan.Demokratisasi secara konkret beralih dari rezim yang tertutup (otoriter) ke partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Wujud dari demokratisasi desa di Indonesia ialah lahirnya UU Desa.

Menurut data resmi hasil rilis Kementerian Desa, Pembangunan Daerah ertinggal, dan Transmigrasi, UU Desa telah memberi dampak konkret terhadap pembangunan desa.Data sepanjang 2015-2022 menunjukkan, jumlah desa tertinggal mengalami penurunan.Dari 33.902 desa tertinggal dan 13.453 desa sangat tertinggal tahun 2015 menjadi 9.584 desa tertinggal dan 4.982 desa sangat tertinggal pada 2022.

Catatan data ini merupakan Indeks Desa Membangun (IDM) yang diukur dengan melihat indeks ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Capaian IDM ini tak lepas dari lahirnya UU Desa, dan secara spesifik terkait pemberian dana dari pemerintah pusat kepada desa dalam program Dana Desa.Namun, persoalan yang kerap terjadi di level demokratisasi desa ialah walau dana desa miliaran rupiah per tahun digulirkan, penyelenggaraan demokratisasi desa selalu menemui masalah. 

Masalah yang kerap dialami ialah korupsi, politik uang di pilkades, pungli, serta lemahnya transparansi
dan pelibatan masyarakat dalam penggunaan Dana Desa.Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, sampai tahun 2022 terdapat 686 perangkat desa yang terjerat korupsi Dana Desa. Jumlah ini adalah jumlah yang cukup besar berdasarkan tingkat kerawanan praktik korupsi di Indonesia.

Hal ini yang membuat praktik demokratisasi di tingkat desa tidak memiliki korelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, masalah pokok yang dihadapi desa sebenarnya bukan pada durasi masa jabatan yang menghambat pembangunan.

Melainkan, mental sumber daya manusia pejabat desa yang masih belum memiliki pemahaman bagaima- na menjalankan sistem demokrasi yang baik sesuai dengan UU Desa agar memberi dampak terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.( Moh Khoirul Umam Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya) (Berbagai sumber, 30/1/2023/sup)
Tags

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top