Banyuwangi, SGN.com- Ratusan petani di Banyuwangi bergejolak. Bagi hasil dari kayu produk hutan yang selama ini seharusnya diterima petani, tak diberikan kepada mereka. Perhutani dinilai sengaja menerapkan kolonialisme dalam bekerjasama dengan petani setempat.
"Salah satu hal penting yang mendasari dicanangkannya Program Perhutanan Sosial (PS) oleh Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2016 lalu adalah adanya kondisi kemiskinan yang dialami masyarakat desa sekitar hutan. Petani sudah sekian tahun tidak menerima bagi hasil hutan. Ini kolonialisme di tubuh BUMN Perhutani," ungkap Ketua LSPP, Andrianto dalam siaran kepada pers Sabtu (14/1).
Di Pulau Jawa semenjak Pemerintah memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani selaku BUMN Kehutanan untuk mengelola lahan hutan maka sejak saat itulah keberadaan hutan bukan lagi bagian utuh bagi masyarakat desa yang tinggal berbatasan langsung dengan wilayah hutan untuk pemenuhan kelangsungan hidup kesehariannya.
Dengan diserahkannya pengelolaan hutan kepada Perhutani maka wilayah hutan yang sudah menjadi bagian dari mata pencaharian hidup secara terun temurun dibuat pengaturan ketat, pelarangan, ancaman bahkan pemidanaan. Warga desa juga dimobilisasi dan diwajibkan untuk tercatat identitasnya dalam sebuah organisasi/lembaga bernama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebagai bentuk keabsahan untuk bisa memasuki dan memanfaatkan hutan dan apabila tidak terdaftar maka ditempatkan sebagai sebuah tindakan kriminal.
Selain itu hutan sudah tidak lagi memiliki wajah yang ramah lingkungan dengan adanya tanaman bersifat monokultur (sejenis) dengan jarak tanam tertentu seperti halnya tanaman Pinus maupun Jati. Pola dan pengelolaan hutan yang diterapkan selama berpuluh tahun inilah merupakan upaya sistematik, terencana dan massif untuk menjauhkan masyarakat desa dengan potensi dan sumberdaya hutan yang berada di sekitarnya.
Situasi inilah yang mendorong faktor kemiskinan berlangsung di desa-desa sekitar hutan. Memang terdapat kompensasi bagi masyarakat desa berupa bagi hasil/sharing atas hasil hutan baik untuk kayu maupun non kayu tetapi proses penghitungan dan penetapan besar nilainya secara faktual dilakukan tertutup.
Tidak ada transparansi dalam penghitungan besarnya nilai, ketidakjelasan waktu realisasi pemberian/penyerahan bagi hasil/sharing dan masyarakat diminta untuk memaklumi dan mematuhi prosedur berbelit dalam internal birokrasi Perhutani. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa penyerahan/pemberian bagi hasil/sharing kepada masyarakat selama ini dilakukan setelah lebih dari 1 (satu) tahun.
Bagi Lingkar Studi Pemberdayaan Perdesaan (LSPP) selaku pendamping salah satu Kelompok Tani di Banyuwangi penerima Izin KULIN KK dari KLHK semenjak awal tahun 2019 bahwasanya implementasi Program Perhutanan Sosial di tingkat tapak relatif masih sama saja dan tidak ada perubahan dengan pola pengelolaan hutan sebelumnya.
Masyarakat desa selaku Pemegang Izin tidak dapat menunjukkan peran faktualnya sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan pada lokasi-lokasi yang dibagi kedalam areal petak, anak petak dalam wilayah Resort Pemangkuan Hutan (RPH) serta Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Perhutani.
Situasi inilah yang dialami terus menerus oleh salah satu Kelompok Tani di Banyuwangi dan menjadikan LSPP selaku pendamping menyampaikan laporan pengaduan resmi kepada Polres Banyuwangi maupun Ombudsman RI.
Dengan dukungan data/dokumen beserta alat pembuktian yang cukup sebagai syarat formal maupun materiil maka telah diterbitkan Surat Perintah Penyelidikan Polres Banyuwangi Nomor : SP Lidik/860/VI/RES.5.6/2021/Satreskrim, Tanggal 11 Juni 2021 dan Surat Ombudsman RI Nomor : T/2678/LM.28-KS/0654.2022/XI/2022, Tanggal 17 November 2022.
Upaya-upaya yang sebelumnya ditempuh LSPP selama ini, baik kepada Perhutani, BPSKL maupun Dirjen Penegakan Hukum (GAKKUM) KLHK terindikasi justru dilakukan pembiaran tanpa ada tindakan konkret/nyata untuk menyelesaikannya. (Hery S)