teks foto : Gereja GITJ Kayuapu Gondangmanis Bae Kudus per Kamis 22/12/2022. Makam Pieter Janz di Dukuh Kayuapu Desa Karangbener Bae Kudus Foto Sup
Kudus,SGN.com-Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Kayuapu yang terletak Dukuh Kayuapu Desa Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus (Jawa Tengah) termasuk salah satu gereja tertua di Indonesia. Dibangun pada tahun 1864. Tapi sampai dengan Kamis ( 22/12/2022) belum tercatat- apalagi ditetapkan sebagai cagar budaya di tingkat kabupaten/provinsi/pusat.
Sedang gereja “tua” lainnya adalah Gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta (Jakarta) dibagun pada tahun 1695.Gereja Blenduk — Semarang ( 1755) Gereja Kepanjen — Surabaya ( 1815), Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Pagelaran Malang Jawa Timur (1817) , Gereja Imanuel — seberang stasiun Gambir Jakarta (1845), GKJW Mojolaban Jombang Jawa Timur ( 1879) dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kiai Sadrach Soeropranoto Desa Langenrejo Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo (1871).
Selain itu makam makam Pieter Jansz.misionaris kelahiran 25 September 1820 yang menginjakkan kakinya kali pertama di Jawa pada 1851 Meninggal pada 22 Maret 1904- atau dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di komplek pemakaman Dukuh Kayuapu Desa Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus . Juga belum tercatat/terdata sebagai benda cagar budaya.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kudus, Edy Supratno, yang dihubungi via telepon, Kamis (22/12/2022) berjanji akan menyampaikan “kasus” ini pada rapat dengan jajaran TACB Dinas Kebudayaan Pariwisata Kudus. “Kami juga akan menemui nara sumber yang terkait hal tersebut,” tegasnya.
Menurut undang undang (UU) nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB, yang kemudian diperbaruhi dengan UU nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaaya.cagar budaya.
Pasal 1 (1): Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya , Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar budaya, Situs Budaya dan kawasan cagar budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya, karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Pasal 1(2.) Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
Pasal 1(3). Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
Pasal 1(4). Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. Maka GITJ Kayuapu dan makam Pieter Jansz memenuhi unsur pasal 1 (1-4) UU Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010.
Gereja Kayuapu
Bentuk bangunan GITJ Kayuapu mirip dengan GKJW Pagelaran Malang dan GKJW Mojolaban Jombang. Ditandai dengan banyaknya jendela yang berukuran besar/lebar. Begitu pula pintunya. Juga adanya bangunan samping yang berfungsi sebagai tempat lonceng gereja. Semula lonceng dioperasikan dengan menarik kabel/rantai (manual)- namun diganti dengan elektrik. Dioperasikan setiap hari Minggu dan Kamis. Halamannya juga cukup luas, sehingga sebagian diantaranya “dipangkas” untuk lapangan tenisGITJ Kayuapu, merupakan persembahan dari Administratur pabrik gula (PG) Tanjungmojo Kecamatan Jekulo (Kudus) Selain pabrik gula Tanjungmojo di Kabupaten Kudus saat itu juga berdiri pula Besito Kecamatan Gebog dan PG Rendeng Kecamatan Kota Kudus. Namun tinggal PG Rendeng yang hingga sekarang masih tetap berproduksi. “Beberapa tahun kemudian setelah didirikan, di samping belakang gereja dibangun sebuah poliklinik,.Namun sudah lama poliklinik tidak berfungsi” tutur Pendeta GITJ Kayuapu, Slamet Suharyanto.
Selain itu GITJ Kayuapu, merupakan rangkaian sejarah kristenisasi Jawa, seperti yang ditulis C Guillot dalam bukunya setebal 243 halaman (cetakan pertama 1985) berjudul Kia Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa dan buku Sejarah Gereja Injili diTanah Jawa tulisan Sigis Herusukotjo dan L Yoder (1979), Jemaaat Kayuapu abad ke-19 dan awal ke-20 (Pendeta Karmito) Sejarah GITJ ( Panitia Sarasehan Menelusuri Sejarah Gereja Kayuapu, September 2002).
Pieter Jansz. Banyakdiantara jemaat tidak tahu jika Alkitab berbahasa Jawa yang hingga sekarang masih digunakan (dibaca) sekitar satu juta jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ), Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan Gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan ( GKSBS), adalah karya Pieter Jansz.
Ia termasuk diantara 69 misionaris yang bertugas di Jawa pada periode 1813 — 1900. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, misionaris artinya orang yang melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain yang belum mengenal Yesus Kristus.
Pieter Jansz, di sela-sela tugas sehari-harinya mewartakan Injil, sempat melanjutkan menterjemahkan Alkitab berbahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa, yang lebih dahulu dirintis misionaris Bruckner (bertugas mulai 1814 )dan Gericke ( bertugas mulai1827).
Bukan sekedar menterjemahkan, tetapi sekaligus membetulkan tata-bahasanya .Proses penterjemahan tersebut dilanjutkan anaknya yang bernama PA Jansz “Karya bapak dan anak itu boleh disebut sebagai bapak dari kitab suci perjanjian lama dan perjanjian baru dalam bahasa Jawa yang hingga kini dipergunakan gereja-gereja di Indonesia yang berbahasa Jawa. Suatu kebanggan yang seharusnya tidak dilupakan jemaat Mennonit di seputar Muria,” tulis Sigid Herusukotjo dan L.Yoder dalam bukunya Sejarah Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ)
Selain itu Pieter Jansz juga menulis dalam brosur berbahasa Jawa “ Wektune wus tekan. Keratone Allah wus cedhak dan Landontginning en Evangelisatie op Java (Pembukaan tanah dan kristenisasi di Jawa).
Serta sebuah brosur dalam bahasa Jawa juga, yang antara lain menuliskan dialog antara seorang beragama Kristen dan seorang beragama lain. Ia berusaha mengetengahkan ide bahwa Ratu Adil itu adalah Messiah atau Yesus Kristus.
Misionaris kelahiran 25 September 1820 ini menginjakkan kakinya kali pertama di Jawa pada 1851 Meninggal pada 22 Maret 1904- atau dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di komplek pemakaman Dukuh Kayuapu Desa Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus (Jawa Tengah).
Makam yang terbuat dari bahan baku batu pualam warna putih tersebut “dipayungi” dengan cungkup( bangunan beratap di atas makam berfungsi sebagai pelindung). Di samping kiri terdapat makam sang isteri, Wihelmina Frederika Schmilau. Di bagian belakang terdapat empat papan nama yang ditulis dengan bahasa Jawa, Indonesia, Belanda dan Inggris. Nisannya masih cukup bagus dan selalu terawat bersih.
Menurut brosur bertajuk “Jemaat Kayuapu abad ke-19 dan awal abad ke-20”, yang ditulis Pendeta Karmito (2006), Pieter Jansz, memang ditugaskan badan zending Doopsgezinde Zendings Vereeniging (DZV) yang berkantor pusat di Nederland.(Belanda)
Sebelum berangkat ke Indonesia , ia sempat kehilangan isteri tercinta yang meninggal pada usia muda. Kemudian belajar melalui buku pinjaman teman , kursus privat tentang ilmu bumi, sosial kebudayaan Hindia Belanda (Indonesia), bahasa Melayu dan bahasa Jawa Khusus untuk memperdalam pengetahuan dan bahasa Jawa ia dibimbing Prof Prasda.
Sedang untuk memperdalan teologia, Pieter Jansz berpindah dari kota Delft ke Amsterdam. Selanjutnya mencari pasangan hidup dan memilih JWF Sekmilau ( Schmilau).
Misionoris ini beserta isterinya (yang baru) kemudian berangkat dari tanah air menuju Indonesia dengan menumpang kapal layar Gelderland, 8 Agustus 1851 dan tiba di kota Batavia (sekarang Jakarta) 15 November 1851.
Pada 23 November 1851, ia beribadah di Gereja Protestan (Gereja Negara) dan sempat mengisahkan sebagian hidupnya dengan nada haru dan penuh tuntunan dari Tuhan. “Sungguh besar rahmat dan kebaikan Tuhan bagi kami. Tuhan sendiri yang telah membimbing kami melewati samodra yang demikian luas dan selamat sampai di Batavia” tuturnya.
Meski secara resmi telah ditugaskan DZV, ternyata tidak mudah untuk mencari pekerjaan sebagai misionaris. Pieter Jansz pergi ke Banyumas, Tegal, Demak hingga Pasuruan (Jawa Timur).
Akhirnya merapat ke Jepara pada awal 1853, menjadi guru privat bagi anak-anaknya Markar Soekias. Golongan bangsawan keturunan Armenia, memiliki perkebunan tebu sangat luas dengan tenaga kerja sekitar 6.000 dan tentu saja kaya raya. (Sup).