Teks foto : Di depan Menara Kudus. Komplek Taman Menara dan Kelenteng Hok Ling Bio. Pengojek Manara. Sudut taman menara yang bakal tergusur Foto Sup
Kudus,SGN.com -Dalam bulan November 2022, Pemkab Kudus bakal memulai penataan Taman Menara dengan biaya dari APBD 2022 Perubahan sebesar Rp 680 juta. Tapi penjelasan kepada publik Kota Kretek, tentang penataan itu sendiri nyaris tidak lengkap. Kecuali menyangkut diwujutkannya kembali adanya Alun Alun dan sebuah panggung seni budaya.
Menurut Ketua Yayasan Masjid Menara Makam Sunan Kudus (YM3SK) Nadjib Hassan, akan lebih baik jika penataan itu adalah bagian dari program Pemkab tentang kawasan cagar budaya. Hanya saja sampai sekarang Pemkab belum memiliki program tentang penataan kota lama. Seperti yang telah dilakukan Pemkot Semarang dan Lasem dan terbukti sukses-berhasil. “Penataan Taman Menara hanya terbatas pada “lempar bola”. Sepotong- sepotong- parsial.
Dengan ditentukannya sebuah kawasan cagar budaya, maka ditandai dengan adanya zona-zona. Dri zona inti hingga pengembangannya” tegasnya.
Dalam peraturan daerah (Perda) Kabupaten Kudus nomor 1 tahun 2022, tentang tata ruang dan tata wilayah (RTRW) yang telah mulai diberlakukan sekitar Mei 2022 hingga 2042, situs Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Kecamatan Kota Kudus sebagai Kawasan strategis sosial budaya.
Tujuan pengembangan kawasan strategis sosial budaya tersebut : mewujudkan pelestarian dan pemanfaatan kawasan yang dapat memacu pengembangan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sedang arah pengembangan kawasan strategis sosial budaya meliputi:Pemeliharaan cagar budaya dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian nilai-nilai cagar budaya dan mempertahankan ciri budaya lokal, Penataan dan pengembangan kawasan cagar budaya dan sosial budaya lainnya.
Dan pengendalian Pemanfaatan Ruang yang berpotensi mengganggu dan/atau merusak kawasan strategis sosial budaya. Sejarah Alun Alun. Jika mengacu pada RTRW tersebut maka Masjid Madureksan yang berada di komplek Taman Menara dan Kelenteng Hok Ling Bio”.
bukan termasuk kawasan strategis budaya ( secara spesifik) Padahal Masjid Madureksan didirikan pada tahun 1520 Masehi, umurnya jauh lebih tua dibanding Masjid Menara Sedang kelenteng Hok Ling Bio yang terletak hanya sekitar 50 meter timur masjid Maduraksan dibangun sekitar abad ke-17. Keduanya termasuk cagar budaya.
Kemudian ketika Pemda Kudus menata kembali Taman Menara berupa menghadirkan Alun Alun dan panggung budaya-kesenian- tidak disertai data yang akurat.
Menurut Handinoto Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, dalam makalahnya yang berjudul Alun-alun sebagai Identittas Kota Jaqwa Dulu da Sekarang, Alun Alun “terbangun” pada masa pra kolonial, kolonial, pasca kolonial dan setelah kemerdekan.
Sejak jaman Mojopahit sampai Mataram (abad 13 s/d 18), alunalun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Kraton. Kraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan.
Sebagai pusat pemerintahan dimana raja tinggal, maka Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos( epercayaan tentang kesejajaran antara jagat raya dan dunia manusia).
Alun Alun masa pra kolonial antara lain ditandai sejumlah pohon beringin. Masing-masing pohon dikelilingi pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai Waringin Kurung. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arief bijaksana.
Kesimpulanya alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) : Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).
Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profan. Pada jaman pra kolonial antara alunalun, kraton dan mesjid mempunyai konsep keselarasan yang jelas. Maksudnya komplek tersebut memang merupakan ujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa.
Oleh sebab itu meskipun terdapat transformasi bentuk alun-alun dari jaman Mojopahit sampai Mataram, tapi terlihat adanya kontinuitas konsep pemikiran tentang penataannya.
Pada jaman kolonial kelihatan adanya diskontinuitas tentang pemikiran konsep penataan alun-alun. Tapi secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru dalam penataan alun-alun kota untuk disesuaikan dengan sistim pemerintahannya pada waktu itu.
Pemerintahan yang dimaksud sistim pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah Inlandsch Bestuur).
Nah disitulah muncul Alun Alun, yang letaknya berhadapan dengan rumah dan pendopo bupati. Dan di sebelah baratnya terdapat sebuah Masjid. Kemudian muncul istilah kota-kota “Indisch”, karena munculnya kebudayaan Indisch, yaitu percampuran antara kebudayaan Jawa dan Kebudayaan Belanda.
Pada awal abad ke 20, terjadi westernisasi kota-kota di Nusantara. Kebudayaan Indisch, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa para pendatang baru pada awal abad ke 20.
Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa. Sesudah kemerdekaan, nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini.
Sejarah kota Kudus.
Menurut Todo Mareva Lumtor sebagai konsultan teknis perencanaan , penataan dan revitalisasi kawasan pusat kota lama Kudus, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jendral Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan Bagian Proyek Penataan dan Revitalisasi Kawasan Wilayah Tengah.
Sejarah Kudus itu sendiri yang diawali dengan adanya pemukiman masyarakat yang diperkirakan berada (sekarang) di Jalan Sunan Kudus atau sekitar Kali Gelis sebelum abad ke 15 (masa pra Islam).
Kemudian pada abad ke-16 muncul mubaligh asal Yunan (Tiongkok) bernama Tee Ling Sing yang kemudian dikenal dengan Kiai Telingsing. Ia disertai pemahat-pengukir ulung Sun Ging An ( kini dikenal sebagai nama Desa Sunggingan, pusat pengrajin pemahat-pengukir Kudus) Kiai Telingsing kemudian mendirikan pesantren di Sunggingan, sehingga muncul pemukiman santri di seputar Jalan Kiai Telingsing dan Jalan Menara.
Kota Kudus mencapai kemajuan setelah Sunan Kudus alias Jafar Shodiq bermukim di sini dan ditandai dengan dibangunnya Menara Kudus pada tahun 1609 (Jawa), atau 1685 Masehi. Arsitekturnya campuran Hindu dan Islam. Namun Sunan Kudus lebih dahulu membangun Masjid Al Aqsa atau Al Manar pada 1549 Masehi.
Sunan Kudus menurut De Graaf dan TH Pigeaud dalam bukunya berjudul Kerajaan Islam di Jawa, tercatat sebagai “imam “ Masjid Agung Demak ke-5, senopati Kerajaan Islam Demak melawan Majapahit pada tahun 1527.
Sunan Kudus akhirnya mendirikan Kota Kudus karena berselisih pendapat dengan Raja Demak, tentang permulaan bulan puasa. Namun juga ada dugaan ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan.
Selain Sunan Kudus, yang juga dikenal sebagai salah satu Wali Sanga (Wali Sembilan) juga tersohor karena jiwa moderatnya. Di mana budaya baru yang datang (Islam) tidak perlu untuk memusnahkan segala warisan yang berbau pra Islam. Dibuktikan dengan bentuk arsitektur Menara dan larangan menyembelih sapi yang sangat dihormati pemeluk Hindu.
Pada abad ke-17 hingga akhir abad 18, Kudus menjadi pemasok utama beras bagi Kerajaan Mataram. Pemukiman penduduk pun semakin berkembang. Pusat kota dihuni para murid dan pengikutnya.
Kemudian pada masa kolonial , pusat kota dipindahkan ke arah timur Kali Gelis (Kudus Timur), yang dilengkapi dengan alun-alun, masjid dan perumahan pegawai pemerintah. Sedang Kota Lama (Menara/Kudus Kulon) menjadi daerah pemukiman.
Sedangkan pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 muncul industri rokok kretek. Menara Masjid Sunan Kudus yang berarstektur nyleneh tapi menarik ini, mulai didatangi banyak pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia. Konon setiap hari paling tidak 1000 orang peziarah datang ke Menara, Makam dan Masjid Sunan Kudus.(Sup)