Cilacap, SGN.com — Pengetrapan teknologi untuk membatu peningkatan kualitas produksi hingga pendapatan petani terus meningkat. Salah satunya adalah penggunaan panel surya untuk mengoperasikan sumur bor/sumur pantek..Dan itu sudah ditrapkan sekaligus dibuktikan petani di Desa Kalijaran Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap.
Mengutip dari harian Kompas Selasa ( 25/10/2022), Desa Kaljaran yang berpenduduk ,3.000 jiwa , 70 persen diantaranya berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Sedangkan lahan seluas tujuh hektar yang terletak di sisi paling selatan desa dikenal sebagai lahan kurang produktif. Sebab hanya mengandalkan air hujan.
Sedang panel surya di lahan tadah hujan yang disebut solar homesystem (SHS) bagi petani ini hadir atas sinergi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI)Refinery Unit IV, Pertamina Foundation, serta Politeknik Negeri Cilacap.
Afrizal Abdi Musyafiq, pengajar di Politeknik Negeri Cilacap, mengatakan,debit air dari pompa ini mencapai 10.000 liter dan teknologi ini mampu bertahan 8-10 tahun khususnya bagi komponen baterai.”Kelebihan SHS, antara lain,dapat menghasilkan kualitas air yang baik dan ramah lingkungan karena airnya akan kembali ke tanah sehingga tidak mengurangi pasokan air tanah,”tutur Afrizal.
Area Manager Commrel &CSR PT KPI Refinery Unit IVCecep Supriyatna mengatakan,PLTS di Maos ini merupakan bentuk inovasi bagi sawah tadah hujan.”Sawah di sana butuh air. Air didapatkan dari sumur bor, tapi air perlu dipompa dan butuh listrik, sedangkan sumber listrik jauh sekali maka ada ini-siatif untuk memakai solar sel untuk jalankan pompa,” kata Cecep.
Pemanfaatan teknologi panel surya di areal persawahan tadah hujan itu senada dengan gagasan Founder and ChairmanM.Corp (MarkPlus,Inc.) Her-mawan Kertajaya seperti disampaikan dalam Konferensi Internasional yang digelar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan bertema ”RecoverStronger: Empowering MSME(Micro, Small, and Medium En-treprises) Productivity Inclusi-ve Growth and Innovation inThe Digital Age”, di Purwokerto, Rabu (12/10/2022).
Hermawan mengatakan, pekerjaan-pekerjaan otot dari para petani bisa diserahkan pada mesin atau teknologi modern,tetapi juga petani diberi pema-haman bahwa hal itu dilakukan supaya bisa mendapatkan hasil yang cepat dan maksimal.
Selain itu, yang penting bagaimana nilai tukar petani naik.”Petani itu menjadi yang terlemah atau kasihan karena hanya punya tenaga. Kalau tidak pakai mesin, hasilnya pada titik tertentu akan berhenti. Kalau ada cara baru, kreatif, akan naik.Improvement itu akan terbatas kalau tidak ada innovation,” tuturnya
Dari sisi dampak lingkungan,pemanfaatan energi terbarukan untuk menyedot air bagi sawah itu pun selaras dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon.
Kelompok tani Lalu menurut Ketua Gabungan KelompokTani Margo Sugih Priyatno Desa Kalijaran, Selasa (11/10/2022),oleh karena hanya mengandalkan curah hujan, sawah inipun baru bisa ditanami tatkala hujan turun dan penanaman padi hanya bisa dilakukan dua kali setahun. ”Kalau sudah tidak tanam padi, tanah biasanya dibiarkan begitu saja karena memang sulit air,” ujar Priyatno yang juga Ketua Kelompok Tani Abdi Tani Makmur.
Bahkan, jika curah hujan tidak memadai untuk mengairi areal sawah, para petani terpak-sa menyedot aliran Sungai Kalijaran dengan mesin pompa air portabel dan menarik selang hingga sepanjang 180 meter.”Kalau tidak punya mesin pompa, petani harus menyewaRp 20.000 per jam. Minimal butuh waktu 5 jam untuk mengairi sawah padi. Jadi, sekali mengairi butuh biaya Rp100.000 untuk sewa mesin. Belum lagi untuk BBM (bahan bakar minyak). Katakanlah per-tamax butuh 5 liter dikalikan14.000, misalnya, sudah butuh dana lagi Rp 70.000,” katanya.
Dan menurut perhitungan Priyatno bersama kelompok taninya,jika air hujan tak memadai, sekali tanam padi setidaknya membutuhkan 7-8 kali penye-dotan air dari sungai. Upaya itu membuat petani merogoh sakunya lebih dalam hingga se-kitar Rp 1,3 juta.”Selain biaya besar,